Pilkada Langsung vs DPRD: Bahlil Usul Mundur, Demokrasi yang Terancam Tergerus

- Minggu, 28 Desember 2025 | 10:15 WIB
Pilkada Langsung vs DPRD: Bahlil Usul Mundur, Demokrasi yang Terancam Tergerus

Lihatlah tren angkanya. Pilkada 2017 menelan biaya sekitar Rp 3-4 triliun untuk 101 daerah. Tahun 2018, untuk 171 daerah, melonjak drastis jadi Rp 18,5 triliun. Lonjakan terbesar justru untuk honorarium penyelenggara ad hoc, yang bisa menyerap hingga 60% anggaran.

Lalu ada Pilkada 2020 di masa pandemi. Anggaran awalnya Rp 9,9 triliun membengkak jadi lebih dari Rp 20 triliun karena protokol kesehatan. Ini jelas kondisi khusus.

Puncaknya di 2024. Pemerintah mengalokasikan Rp 37,5 triliun untuk Pilkada serentak. Ditambah belanja pemilu sejak 2022, totalnya tembus lebih dari Rp 70 triliun. Lagi-lagi, komponen terbesarnya untuk honorarium, operasional, dan logistik skala nasional. Artinya, biaya membengkak terutama karena desain pemilu serentak dan tata kelolanya, bukan semata karena sistem langsung.

Lalu, ongkos politik kandidat? Ini persoalan lain. Mahalnya biaya ini bukan salah sistem langsung. Penyakit utamanya adalah politik uang yang sudah sistemik dan penegakan hukum yang lembek.

Riset Burhanuddin Muhtadi (2018) mengungkap, sekitar sepertiga pemilih di Pemilu 2014 terpapar politik uang. Angka itu diduga malah naik di pemilu-pemilu setelahnya. Fakta ini menunjukkan politik uang adalah penyakit di semua lini pemilihan, bukan cuma Pilkada.

Belum lagi biaya kandidasi yang gila-gilaan. Sejak awal, bakal calon sudah harus keluar uang besar untuk mahar pencalonan, survei, hingga membangun jaringan. Banyak dari pengeluaran ini gelap, tidak masuk laporan dana kampanye, sehingga sulit diawasi. Akibatnya, ketergantungan pada pemodal besar makin menjadi. Konflik kepentingan pun menganga lebar setelah sang kandidat menang.

Jalan Keluar yang Seharusnya

Jadi, kalau mahalnya ongkos politik jadi alasan utama, berarti diagnosanya sudah meleset dari awal. Mencabut hak pilih rakyat tidak serta-merta membuat politik jadi murah. Malah, kita berisiko kembali ke zaman kelam dimana jual beli suara di DPRD merajalela.

Perlu diingat, Pilkada langsung lahir justru sebagai koreksi atas praktik buruk itu dulu. Dengan melibatkan publik, kontestasi jadi lebih terbuka dan diawasi. Kembali ke DPRD sama saja membuka kotak Pandora yang sama.

Wacana ini juga mengabaikan rambu konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya, seperti Nomor 55/PUU-XXII/2019 dan Nomor 85/PUU-XX/2022, sudah menegaskan pentingnya kehati-hatian dan bahwa Pilkada adalah bagian dari rezim pemilu yang asas langsungnya harus dijaga.

Menyempitkan demokrasi cuma jadi soal beban anggaran adalah cara pandang yang keliru. Justru, politik biaya tinggi makin subur ketika prosesnya tertutup dan minim kontrol publik.

Masalahnya bukan pada "langsung atau tidak langsung". Tapi pada tata kelola demokrasi elektoral kita yang masih amburadul. Efisiensi harusnya dicari dengan membenahi desain pemilu: menyederhanakan tahapan, merampingkan badan ad hoc, menata ulang model keserentakan.

Sementara untuk memangkas ongkos politik kandidat, negara harus berani sentuh hal-hal sensitif: pendanaan partai politik yang transparan, mekanisme pencalonan yang bersih, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap politik uang.

Pada akhirnya, mempertahankan Pilkada langsung bukan sekadar nostalgia reformasi. Ini soal menjaga arah. Demokrasi yang dipercaya rakyat adalah fondasi pemerintahan yang efektif. Sebaliknya, demokrasi yang dikurangi dengan dalih apapun, justru akan menggerogoti legitimasi kekuasaan itu sendiri.

Muhammad Iqbal Kholidin. Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).


Halaman:

Komentar