Pemerintah tentu saja membantah. Klaim mereka, reformasi murni didorong kebutuhan energi nasional dan komitmen transisi hijau.
Sameer Patil dari Observer Research Foundation punya pandangan lebih moderat. Ia menilai perubahan ini memang reformasi struktural yang diperlukan untuk menarik investasi.
"Tapi, tantangannya nyata. Pasokan bahan bakar nuklir dalam negeri kita terbatas. Ini bikin sektor ini dan India secara keseluruhan rentan sama gejolak geopolitik," jelas Patil.
"Soal keselamatan? Jujur, ini seperti kompromi. Antara memberi insentif bagi swasta dan menerapkan perlindungan yang wajar," lanjutnya.
Patil mengakui, ketentuan dalam UU saat ini mungkin belum ideal jika dibandingkan potensi dampak sebuah bencana. Tapi, setidaknya aturan itu dianggap cukup untuk membuat perusahaan swasta tetap berminat.
Swasta: Solusi atau Masalah Baru?
Keraguan juga datang dari dalam. Seorang pejabat pemerintah yang memahami sektor nuklir, berbicara secara anonim, meragukan ketahanan swasta.
"Industri nuklir kita sendiri sering gagal capai target. Lihat saja rekam jejak swasta yang mundur dari proyek berisiko tinggi seperti gas dan hidro. Itu mempertanyakan komitmen mereka di sektor nuklir, apalagi dengan perlindungan hukum yang sekarang melemah," tutur pejabat itu.
Anil Wadhwa, mantan diplomat yang berpengalaman dalam isu nuklir, menyoroti tantangan implementasi. "Masalah pasokan uranium domestik yang kualitasnya rendah, butuh tenaga kerja terampil, kapasitas manufaktur komponen yang belum memadai itu semua masih jadi ganjalan," kata Wadhwa.
Inti Persoalan: Tanggung Jawab dan Pasokan
Wadhwa melanjutkan, perdebatan masih panas soal beberapa isu kunci. "Apa batas tanggung jawab 15 miliar rupee India itu cukup untuk kecelakaan besar? Apa badan pengawas kita benar-benar independen? Bagaimana menyeimbangkan insentif dan keselamatan?" tanyanya.
Sebagai perbandingan, bencana Fukushima di Jepang menelan biaya pembersihan lebih dari 200 miliar dolar AS. Itu lebih dari 1.200 kali lipat batas yang diusung India. Chernobyl? Dampak ekonominya bahkan diperkirakan melampaui 700 miliar dolar.
Namun, Wadhwa melihat kemajuan. UU tahun 2010 sebelumnya mengizinkan operator menggugat pemasok, yang berbeda dari praktik global. "Undang-undang baru ini mereformasi ketentuan itu, mendekatkannya pada standar internasional," ujarnya.
"Kepemilikan asing memang dibatasi maksimal 49%, dengan berbagai persyaratan operasional. Tapi, yang penting, jalur partisipasi yang sebelumnya tertutup sekarang terbuka. Itu kemajuan signifikan dibanding rezim lama yang sangat ketat."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris.
Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu
Editor: Muhammad Hanafi
Artikel Terkait
Ancaman Bom Lewat Email Gegerkan Sepuluh Sekolah di Depok
Banten Siap Sambut 350 Ribu Wisatawan di Libur Nataru 2025
Bencana Sumatera Ancam Keberangkatan 20 Ribu Calon Haji 2026
Maduro Balas Trump: Urus Saja Dulu Negeri Anda Sendiri