Penegakan Hukum Sarat Kriminalisasi, Kejaksaan dan Kehakiman Wajib Direformasi
Setelah Tom Lembong, Ira Puspadewi, Kini Nadiem dan Kerry Patut Menjadi Perhatian Publik
Oleh: Anthony Budiawan Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
22 Desember 2025
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kalimat itu tertulis gagah di Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Tapi dalam praktiknya? Rasanya hanya jadi hiasan konstitusi belaka. Di lapangan, hukum seringkali tampak tumpul di hadapan mereka yang punya uang dan kuasa. Hukum seolah jadi apa yang dikatakan penguasa dan para penegaknya Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman. Bahkan kadang Mahkamah Konstitusi. Frasa “I am the Law” atau L’État, c’est moi, barangkali lebih mendekati kenyataan pahit di negeri ini.
Di sisi lain, hukum berlaku begitu tajam dan tanpa ampun untuk rakyat biasa. Ambil contoh seorang kakek 71 tahun di Situbondo. Ia diancam hukuman dua tahun penjara cuma karena menangkap lima ekor burung candet di Taman Nasional Baluran. Alasannya melanggar UU konservasi. Sementara itu, pelanggaran serupa di taman nasional lain yang justru memicu bencana, menenggelamkan puluhan desa dan merenggut lebih dari seribu nyawa di tiga provinsi pelakunya masih bebas berkeliaran. Inilah potret buram penegakan hukum kita.
Lebih mengerikan lagi, hukum kerap dijadikan alat politik. Untuk menghabisi pihak yang tak sejalan. Atau, yang tak kalah sering, jadi sarana “pemerasan” terselubung.
Setiap pejabat negara, termasuk di BUMN, bisa dengan mudah didakwa korupsi dan dijebloskan ke penjara. Modusnya selalu klise: merugikan keuangan negara. Kalau tak terbukti memperkaya diri sendiri artinya tak ada suap atau gratifikasi maka tuduhannya dialihkan jadi “memperkaya orang lain”. Padahal, bisa jadi itu semua murni urusan bisnis biasa.
Perhitungan kerugian negara pun bisa dicari-cari. Dari yang nol bisa jadi miliaran. Artinya, kerugian itu seringkali tidak nyata. Cuma ilusi. Atau lebih tepatnya, rekayasa. Mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji (2007-2010) pernah menyebut dakwaan model begini sebagai bentuk kriminalisasi.
Beberapa kasus korupsi belakangan ini sepertinya masuk dalam kategori itu. Misalnya, kasus Tom Lembong, mantan Menperdagangan 2015-2016, dan Ira Puspadewi, eks Dirut PT ASDP 2019-2022. Keduanya tidak terbukti menerima suap atau gratifikasi. Namun tetap didakwa korupsi dengan alasan merugikan keuangan negara dan memperkaya pihak lain. Pengadilan pun menyatakan mereka bersalah. Tapi kemudian Presiden Prabowo Subianto memberi “koreksi”. Tom Lembong dapat abolisi, Ira Puspadewi direhabilitasi.
Di sinilah keanehan muncul. Meski kedua pejabat itu sudah “dikoreksi”, pihak lain yang terkait kasus yang sama justru tetap dinyatakan bersalah. Direktur dari delapan perusahaan gula rafinasi yang dapat izin impor dari Kementerian Perdagangan divonis penjara dan harus bayar uang pengganti Rp515 miliar. Ini kan jelas-jelas kriminalisasi. Soalnya, abolisi tadi kan menyatakan bahwa pemberian izin impor itu tidak melanggar hukum.
Semua ini bisa terjadi karena perhitungan kerugian negara yang serba rekayasa. Dalam kasus Tom Lembong, BPKP bilang ada kerugian negara dari kurang bayar pajak dan kemahalan harga. Majelis hakim sendiri sebenarnya menolak bagian kurang bayar pajak, menyebutnya tidak nyata. Tapi anehnya, untuk menghukum para direktur perusahaan gula, hakim yang sama malah menerima seluruh perhitungan BPKP tadi.
Artikel Terkait
Rajab Datang, Alarm Perubahan yang Kerap Terlupakan
Kepala Bakamla Ikut Sumbang Darah dalam Aksi HUT ke-20, 107 Kantong Terkumpul
Heboh Video 19 Detik dan Botol Golda: Rumor atau Jebakan Clickbait?
Dewi Perssik Dibentak Warga Aceh Usai Bandingkan Penanganan Banjir