Tanggal 18 Desember selalu jadi momen khusus. Di seluruh dunia, hari itu diperingati sebagai Hari Migran Internasional. Bukan sekadar tanggal di kalender, tapi lebih sebagai pengingat akan sumbangsih luar biasa dari jutaan orang yang memilih merantau. Kontribusi mereka, seringkali tanpa sorotan, ternyata sangat berarti.
Kalau kita lihat data PBB, peran migran itu nyata banget. Mereka mengisi celah di pasar tenaga kerja, bawa ide-ide segar, dan bahkan jadi penggerak roda ekonomi. Di negara tujuan, mereka membantu mengatasi masalah demografi. Sementara itu, dari kampung halaman, dukungan yang mereka kirimkan lewat remitansi justru jadi penopang hidup dan stimulan pembangunan. Intinya, gerak mereka memberi napas di dua tempat sekaligus.
Lalu, apa sih yang bikin orang memutuskan untuk pergi? Alasan klasiknya sih soal kerjaan. Daya tarik gaji yang lebih baik di negara maju memang kuat banget. Apalagi, kesenjangan pendapatan antarnegara makin lebar. Fenomena ini nggak cuma terjadi antara negara kaya dan miskin, tapi juga terasa di antara negara berkembang sendiri yang pertumbuhannya cepat dan yang tertinggal.
Namun begitu, ada satu hal yang menarik. Ternyata, kemiskinan ekstrem di daerah asal bukan jaminan orang akan berbondong-bondong hengkang. Kenyataannya, mereka yang paling miskin justru sering nggak punya modal buat menanggung biaya dan risiko merantau ke luar negeri.
Kebanyakan migran internasional justru berasal dari kalangan menengah. Tapi ceritanya berubah setelah mereka sukses menetap. Mereka biasanya mulai menolong saudara atau teman untuk menyusul. Proses berantai ini lama-lama menurunkan biaya dan risiko migrasi. Akhirnya, orang dengan ekonomi lebih lemah meski bukan yang paling miskin pun punya peluang buat ikut. Nah, migrasi tenaga kerja dengan skill rendah inilah yang punya dampak paling besar untuk meringankan beban kemiskinan di daerah asal.
Yang semakin jelas sekarang, migrasi internasional umumnya membawa dampak positif. Baik buat negara yang ditinggalkan maupun negara tujuan. Bahkan, beberapa analis bilang potensi manfaatnya bisa lebih besar ketimbang keuntungan dari perdagangan bebas, khususnya bagi negara-negara berkembang.
Artikel Terkait
Korban Tewas Banjir dan Longsor Sumbar-Sumut-Aceh Bertambah Jadi 1.068 Jiwa
Ombudsman Banten Selamatkan Kerugian Masyarakat Capai Rp 135 Miliar dalam Lima Tahun
ASN Bisa Kerja Fleksibel Tiga Hari di Akhir 2025, Ini Aturan Mainnya
Tahun Baru 2026 di Jakarta: Sederhana, Penuh Doa, dan Tetap Menyala