Kasus yang menjeratnya berawal dari kebijakan tambahan kuota haji tahun 2024. Saat itu, Indonesia berhasil mendapat tambahan 20 ribu kuota setelah lobi-lobi Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi. Tujuannya mulia: memangkas antrean panjang jemaah reguler yang bisa menunggu hingga dua dekade.
Namun begitu, masalah muncul dalam pembagiannya. Alih-alih seluruh tambahan kuota dialokasikan untuk mengurangi antrean panjang, kuota itu justru dibagi rata. Sepuluh ribu untuk haji reguler, sepuluh ribu lagi untuk haji khusus.
Padahal, aturannya jelas. UU Haji menyebut porsi kuota khusus hanya 8 persen dari total. Akibat kebijakan di era Menag Yaqut Cholil Qoumas itu, komposisi akhir tahun 2024 jadi 213.320 kuota reguler dan 27.680 kuota khusus.
Dampaknya nyata. Sekitar 8.400 calon jemaah reguler yang sudah mengantre lebih dari 14 tahun dan seharusnya bisa berangkat, akhirnya gagal. Inilah yang kemudian diduga KPK menimbulkan kerugian negara. Untuk mengamankan aset, KPK telah menyita sejumlah barang bukti, mulai dari rumah, mobil, hingga uang dalam bentuk dolar AS.
Pemeriksaan hari ini tampaknya menjadi upaya untuk memastikan angka pastinya. Dari Rp 1 triliun ke Rp 596 miliar, atau justru lebih? Prosesnya masih berjalan.
Artikel Terkait
Bentrokan di Tambang Ketapang, WNA China Serang Personel TNI
Nadiem dan Grup Rahasia WhatsApp di Balik Skandal Chromebook Rp 2,1 Triliun
Lasarus Desak Pemerintah Terima Bantuan Asing untuk Korban Bencana Sumatera
LDII dan Dinas KPKP DKI Bahas Urban Farming dan Tata Kurban