Lalu, bagaimana mengidentifikasi perempuan yang benar-benar butuh MRI? Di sinilah konsorsium internasional Clairity Consortium turun tangan. Asosiasi yang terdiri dari 46 lembaga riset ini mengembangkan model AI bernama Clairity Breast.
Algoritmanya tidak main-main. Ia telah dilatih menggunakan data lebih dari 420.000 mammogram dari tiga benua.
Yang menarik, model ini tidak memerlukan data riwayat keluarga, faktor genetik, atau pertanyaan gaya hidup seperti model tradisional. Cukup dengan mammogram, sistem ini menghitung probabilitas risiko dan mengelompokkan perempuan ke dalam kategori tertentu.
AI ini tidak sekadar mengukur kepadatan. Ia menganalisis tekstur dan susunan jaringan, yang juga merupakan faktor risiko penting.
"Hanya sekitar sepuluh persen perempuan yang punya jaringan sangat padat," papar Kuhl. "Sebagian besar korban kanker yang telat diagnosa justru memiliki jaringan dengan kepadatan sedang atau kurang."
Nah, kehebatan teknologi baru ini, menurut Kuhl, adalah kecepatannya. Dalam hitungan detik, AI bisa menentukan apakah seseorang perlu dirujuk ke MRI atau tidak.
Pertanyaan Besar: Haruskah Skrining Dimulai Lebih Awal?
Di banyak negara, usia 50 tahun jadi batas awal skrining. Alasannya klasik: risiko meningkat seiring usia, dan manfaatnya sudah terbukti pada kelompok ini. Tapi Kuhl punya pemikiran lain.
Jika model AI terbukti efektif, perempuan yang lebih muda pun bisa mendapat manfaat. Meski risikonya lebih rendah, kanker pada kelompok usia muda cenderung lebih agresif. Selain itu, mammografi sendiri lebih bermasalah untuk mereka.
"Jaringan payudara perempuan muda umumnya lebih padat. Itu membuat deteksi dini lewat mammografi jadi jauh lebih sulit," jelas Kuhl.
Tapi, ia tidak serta merta mendorong penurunan batas usia skrining untuk semua orang. "Itu bukan solusi. Kita hanya akan memindahkan masalahnya," katanya.
Sebagai gantinya, Kuhl mengusulkan pendekatan dua tahap. Tahap pertama adalah mammografi biasa. Lalu, gambar tersebut dianalisis oleh AI untuk menghitung risiko lima tahun ke depan.
Jika algoritma menunjukkan risiko sangat tinggi, maka MRI langsung ditawarkan. "Untuk kelompok ini, mammogram sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi," tegas Kuhl.
Gagasan ini tentu membuka diskusi baru. Bagaimana implementasinya? Siapa yang akan menanggung biaya? Pertanyaan-pertanyaan itu masih perlu dijawab. Tapi satu hal yang jelas: era skrining 'satu ukuran untuk semua' perlahan-lahan akan berakhir.
Artikel ini merupakan adaptasi.
Editor: Melisa Ester Lolindu
Artikel Terkait
Cucun Syamsurijal Desak Normalisasi Sungai dan Huntara di Pidie Jaya
Bahlil Minta Kader Golkar Siapkan Payung Sebelum Bencana Datang
Kapolres Bogor Wikha Raih Penghargaan, Ajak Polisi Tak Hanya Jadi Penegak Hukum
Kapolda Jabar Raih Penghargaan Atas Transformasi Digital Polisi