AI Baca Mammogram, Deteksi Kanker Payudara Meski Hasilnya Bersih

- Senin, 08 Desember 2025 | 16:00 WIB
AI Baca Mammogram, Deteksi Kanker Payudara Meski Hasilnya Bersih

Angkanya sungguh mengejutkan. Setiap tahun, lebih dari dua juta perempuan di seluruh dunia didiagnosis menderita kanker payudara. Menurut catatan WHO, penyakit ini merenggut nyawa sekitar 670.000 orang pada 2022 saja. Fakta ini menunjukkan bahwa perang melawan kanker payudara masih jauh dari kata selesai.

Christiane Kuhl, Direktur Departemen Radiologi di Rumah Sakit Universitas RWTH Aachen, punya pandangan tajam soal ini. Menurutnya, meski program skrining mammografi sudah berjalan, kanker payudara tetap jadi pembunuh nomor satu akibat kanker pada perempuan.

"Penjelasannya sederhana, tapi memprihatinkan," ujar Kuhl. "Mammografi masih sering gagal. Banyak kasus tidak terdeteksi, atau kalau pun ketahuan, sudah terlambat."

Yang lebih mengkhawatirkan, jenis tumor yang paling agresif dan tumbuh cepat justru sering kali luput dari pantauan. Padahal, jenis inilah yang paling mematikan.

Namun begitu, ada secercah harapan di tengah kabar suram ini. Sebuah algoritma kecerdasan buatan baru diklaim bisa mengubah peta permainan skrining kanker payudara. Model AI ini konon mampu memperkirakan tingkat risiko seseorang mengidap penyakit itu dalam kurun lima tahun ke depan. Caranya? Hanya dengan menganalisis gambar mammogram biasa.

Studi awal menunjukkan hasil yang cukup meyakinkan. Perempuan yang oleh algoritma dikategorikan berisiko tinggi, ternyata memang jauh lebih rentan terkena kanker payudara dibanding yang skornya normal.

"Secara spesifik, kemungkinannya empat kali lebih besar," jelas Kuhl.

Keunggulan utamanya terletak pada kemampuannya membaca yang tak terlihat. "Dengan model baru ini, prediksi jadi jauh lebih presisi. Kita bisa tahu apakah seorang perempuan akan mengembangkan kanker dalam lima tahun mendatang, bahkan saat mammogramnya tampak bersih dan normal sekalipun," tambahnya.

Sudah Waktunya Skrining yang Lebih Personal

Pendekatan skrining yang berlaku saat ini dinilai terlalu kaku. Ambil contoh Jerman, di mana semua perempuan berusia 50 hingga 75 tahun diundang untuk mammogram rutin setiap dua tahun sekali. Padahal, risiko dan kebutuhan setiap orang bisa sangat berbeda.

Kuhl menilai metode seragam semacam ini sudah ketinggalan zaman. Ia mendorong pendekatan yang lebih personal, yang mempertimbangkan karakteristik unik setiap perempuan. Salah satu faktor kuncinya adalah kepadatan jaringan payudara.

Faktanya, semakin padat jaringannya, semakin tinggi risikonya. Ironisnya, justru dalam kondisi ini akurasi mammografi menurun. Banyak perempuan, kata Kuhl, tidak menyadari hal penting ini.

Di Amerika Serikat, situasinya sedikit berbeda. Perempuan di sana sudah lama berhak mendapatkan informasi tentang kepadatan jaringan payudara mereka sendiri, termasuk soal 'masking' istilah teknis untuk kondisi di mana kanker tersembunyi dan tidak terlihat di mammogram.

MRI: Standar Baru yang Lebih Andal, Tapi Mahal

Beberapa tahun belakangan, MRI atau magnetic resonance imaging mulai direkomendasikan untuk perempuan dengan jaringan payudara sangat padat. Teknologi ini dianggap lebih jitu dalam mendeteksi kanker pada stadium awal.

Berbeda dengan mammografi yang menggunakan sinar-X, MRI memanfaatkan medan magnet kuat dan gelombang radio. Hasilnya? Gambar penampang tubuh yang sangat detail. Sayangnya, keandalan ini dibayar mahal. Biaya pemeriksaan MRI jauh lebih tinggi ketimbang mammografi atau USG.


Halaman:

Komentar