Belajar dari Banjir Besar Sumatra 2025: Tanggung Jawab di Luar Sekadar Label
Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat. Akhir 2025. Nama-nama wilayah itu kini melekat pada sebuah tragedi kemanusiaan yang dalam. Banjir bandang datang, menyapu segalanya. Ratusan nyawa hilang, jutaan orang terdampak. Permukiman hancur, ekonomi lokal pun ikut lumpuh. Di tengah duka yang begitu pekat, satu pertanyaan mengemuka dan terus bergema: kenapa pemerintah tidak segera menetapkannya sebagai bencana nasional?
Pertanyaan itu wajar, bahkan perlu. Tapi jawabannya, menurut saya, nggak sesederhana yang dibayangkan. Lihat, dalam negara hukum yang ingin bertanggung jawab, memilih untuk tidak mencap suatu peristiwa sebagai "bencana nasional" bukanlah bentuk kelalaian. Bukan. Justru, dalam situasi tertentu, pilihan itu bisa jadi langkah yang lebih strategis. Lebih adil untuk korban, dan lebih akuntabel dalam jangka panjang.
Di sini, kita perlu melihatnya bukan cuma dari kacamata emosi. Tapi juga dari sudut pandang hukum, data, dan tentu saja, pelajaran berharga agar sejarah kelam ini tidak terulang lagi di tanah air.
Kehadiran Negara: Lebih dari Sekadar Spanduk
Undang-Undang Penanggulangan Bencana sebenarnya memberi ruang diskresi pada presiden. Tidak ada kewajiban mutlak untuk mencap setiap bencana besar sebagai "nasional". Lalu, ukuran keberhasilan negara itu apa? Bukan pada seberapa sering label itu diumumkan. Tapi pada kecepatan evakuasi, penanganan korban jiwa dengan hormat, dan keadilan dalam proses pemulihan baik fisik, mental, maupun ekonomi.
Faktanya, dalam tragedi Sumatra 2025 ini, penanganan darurat tetap berjalan. TNI-Polri dikerahkan, logistik lintas daerah mengalir, anggaran tak terduga digelontorkan. Semua itu sah secara hukum meski tanpa embel-embel "nasional". Intinya, negara bisa hadir tanpa harus terlebih dahulu memenuhi syarat administratif tertentu.
Namun begitu, persoalannya ternyata lebih rumit.
Bencana yang (Mungkin) Bukan Cuma Alam
Inilah titik krusialnya. Banyak kajian dan laporan independen menyoroti satu hal: banjir bandang ini nggak cuma dipicu hujan ekstrem. Ada tangan manusia yang memperparahnya. Kerusakan ekologi di hulu deforestasi, tambang di area rentan, konversi hutan ditambah pengawasan yang lembek, ikut andil dalam memperbesar dampak bencana.
Nah, kalau negara buru-buru memberi label "bencana nasional", ada risiko besar yang mengintai: kaburnya garis tanggung jawab. Peristiwa yang seharusnya jadi momentum koreksi tata kelola lingkungan, bisa dengan gampang direduksi jadi sekadar "musibah alam". Masyarakat pun dipaksa pasrah, padahal bisa jadi ada kesalahan pengelolaan di baliknya.
Kita punya pengalaman pahit yang bisa dijadikan cermin. Ambil contoh kasus Lumpur Lapindo. Awalnya negara hadir melindungi, tapi lama-lama justru terjebak menanggung beban kesalahan korporasi. APBN terjun, konflik hukum berlarut, dan keadilan bagi korban seolah tak kunjung tuntas. Jangan sampai dikotomi label "nasional" justru kembali menjerumuskan kita dalam lingkaran serupa.
Menolak Label, Menjaga Tanggung Jawab
Justru dengan tidak menetapkan status bencana nasional, negara bisa mengunci prinsip penting: polluter pays principle. Siapa yang merusak, dialah yang harus bertanggung jawab. Negara tetap melindungi rakyatnya dari segala dampak bencana, tapi tidak serta-merta menggantikan posisi pihak yang lalai.
Ini momentum untuk memberi pelajaran tegas. Bagi para pengelola hutan dan pengusaha yang abai pada regulasi demi keuntungan pribadi yang kemudian berutang nyawa pada rakyat.
Artikel Terkait
Gus Ipul Tegaskan Pentingnya Izin Penggalangan Dana untuk Jaga Kepercayaan Publik
Kebakaran di Basement Pesantren Jagakarsa, Tiga Santri Sesak Nafas Dilarikan ke RS
Ribka Haluk Serukan Sinergi Daerah Dukung Peta Jalan Digital Indonesia
Putin Buka Pintu Kerja Sama Nuklir dalam Pertemuan Hangat dengan Prabowo