Dulu, saya sering mendengar orang menyalahkan takdir saat gagal. "Memang sudah jalannya," begitu kata mereka. Rasanya, takdir jadi semacam pelarian dari keharusan untuk melihat ke dalam diri. Saya paham. Saya sendiri pernah terjebak dalam perasaan itu, merenung panjang tentang apa sebenarnya arti takdir dalam hidup.
Waktu itu, saya bekerja keras. Benar-benar total. Tapi ada satu momen yang membekas, ketika seseorang yang jelas bersalah justru dilindungi. Saya? Yang berusaha jujur dan menjaga amanah, malah dianggap remeh. Kesalahan-kesalahan kecil malah dicari-cari. Dada saya terasa hampa.
Dalam hati, saya bertanya-tanya. "Peran saya ini apa, sih? Buat apa berusaha kalau yang benar tak dihargai?"
Pertanyaan itu nggak cepat hilang. Ia numpuk dan mengendap lama sekali.
Kelelahan, rupanya, sering bikin kita keliru. Kita kira diri kita pasrah, padahal sebenarnya kita cuma menyerah. Ungkapan "mungkin memang takdir" kerap cuma jadi pembungkus yang rapi untuk rasa lelah yang sudah menumpuk. Dari situlah, saya mulai mendorong diri untuk menggali lagi pemahaman tentang takdir. Mana sih yang betul-betul jadi bagian kita? Dan mana yang sama sekali di luar jangkauan?
Perlahan, saya mulai ngerti. Takdir itu nggak cuma satu wajah. Ada hal yang memang sudah fixed, nggak bisa diubah. Tapi ada juga yang justru menunggu dan membutuhkan ikhtiar kita. Kesadaran ini muncul pelan-pelan, setelah berkali-kali hidup nggak berjalan sesuai skenario yang saya mau.
Dulu, saya bertahun-tahun berdoa minta kebahagiaan. Saya kira kebahagiaan itu sesuatu yang diberikan, jatuh dari langit. Sekarang saya tahu, kebahagiaan itu dibentuk. Pelan, lewat proses yang kadang nggak nyaman, bahkan perih.
Saat ini, saya sedang menempuh studi doktoral. Jujur, saya nggak tahu akhirnya akan seperti apa. Tapi saya tetap melangkah. Karena akhirnya saya sadar, yang kita pegang cuma prosesnya. Hasil? Itu bukan domain kita. Lalu buat apa berdoa? Kita berdoa bukan semata-mata untuk mengubah keadaan. Lebih dari itu, kita berdoa supaya punya kekuatan untuk tetap tegak, ketika keadaan itu tak kunjung berubah.
Memang, beberapa takdir nggak bisa kita ubah. Di sanalah kita belajar untuk menerima.
Pemahaman saya diuji sangat keras ketika istri saya berpulang. Itu titik paling sunyi. Rumah yang dulu terasa hangat, mendadak sepi. Malam-malam terasa panjang sekali.
Dalam kesunyian itulah, saya belajar sesuatu yang nggak tertulis di buku manapun.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam