Banjir Sumatera dan Ironi Pengelolaan SDA: Saatnya Negara Hadir untuk Rakyat, Bukan Korporasi

- Minggu, 07 Desember 2025 | 18:30 WIB
Banjir Sumatera dan Ironi Pengelolaan SDA: Saatnya Negara Hadir untuk Rakyat, Bukan Korporasi

Sudah lewat seminggu lebih. Tapi, perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap banjir besar di sebagian Sumatera masih terasa minim. Padahal, dampaknya sudah sedemikian parah: korban jiwa dan hilang mencapai ratusan, listrik padam, logistik tersendat, bahkan aksi penjarahan mulai terjadi di beberapa titik.

Keadaan ini, mau tak mau, menimbulkan kesan pahit. Seolah pemerintah hanya hadir untuk mengambil sumber daya alamnya, lalu pergi begitu bencana yang sebagian disumbang oleh kesalahan tata kelola menghantam.

Memang, kita tak bisa mengelak. Kebijakan yang ada, ditambah pengawasan yang lembek, turut andil merusak bentang alam. Dan kini, kita semua menuai akibatnya.

Eksploitasi, Bukan Kelola

Belakangan ini, tata kelola SDA cenderung berat sebelah. Sisi ekonomi diutamakan, sementara yang lain dikesampingkan. Ini terlihat dari sederet regulasi, mulai UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga program strategis nasional seperti food estate dan hilirisasi. Semuanya berpusat pada nilai tambah ekonomi.

Akibatnya, hal-hal seperti perizinan lingkungan atau hak masyarakat adat sering dipandang sebagai rintang, bukan sebagai bagian yang harus dijaga. Fokusnya jelas: memudahkan usaha, menggerakkan ekonomi, dan mempercepat industrialisasi berbasis SDA. Tren ini kuat setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir.

Pidato Presiden Prabowo yang mendukung deforestasi, misalnya, semakin mempertegas arah kebijakan ke depan.

Namun begitu, sudah saatnya pemerintah mengevaluasi pendekatan sepihak ini. Langkah awal bisa dimulai dengan membentuk neraca SDA terintegrasi sebagai basis kebijakan. Selama ini, neraca SDA cuma jadi dokumen informatif belaka.

Padahal, potensinya jauh lebih besar. Ia bisa dioptimalkan jadi alat pertimbangan lintas sektor: menentukan area mana yang boleh dieksplorasi, kapan waktunya, dan bagaimana menjaga keberlanjutannya. Pengelolaan yang lebih hati-hati mutlak diperlukan untuk menjamin kemakmuran rakyat jangka panjang.

Data Kementerian Kehutanan (2024) menyebut luas hutan tersisa tinggal 95,5 juta hektare, atau sekitar 51,1% dari total daratan.

Sementara catatan Walhi dan Auriga (2022) lebih mengkhawatirkan. Sejak era Soeharto hingga Jokowi, tercatat sekitar 147,9 juta hektare lahan pernah diberikan pemerintah kepada korporasi. Angka itu mencakup 92% dari total alokasi. Rakyat hanya kebagian 8%.


Halaman:

Komentar