Trauma itu ternyata belum pergi. Dua hari setelah bencana, kampungnya masih terisolasi. Jalan putus, akses terblokir total. Susi dan warga lainnya seperti terperangkap. Baru pada Minggu, 30 November, ketegangan itu sedikit mereda. Bantuan mulai datang.
"Saya ditelepon biasa (telepon via GSM) disuruh buka pintu sekolah, mau ada Polda Riau buat posko. Saya lega karena ada polisi datang, kami merasa tenang karena polisi pasti bantu kami," tuturnya.
Kedatangan tim dari Polda Riau memang jadi penanda bantuan serius mulai masuk. Mereka tak cuma bawa personel sekitar 290 orang tapi juga logistik, alat penjernih air, bahkan perangkat Starlink untuk mengembalikan koneksi internet yang putus sama sekali. Bagi warga yang trauma, kehadiran mereka seperti secercah harapan.
Namun begitu, ketakutan itu masih sering muncul. Suara helikopter yang datang membawa bantuan justru membuat Susi dan warga lainnya kaget bukan main. Bunyinya mengingatkan mereka pada momen mengerikan itu.
"Seperti helikopter suaranya. 'Gurudug...gurudug...gurudug...werrr' macam heli lah suaranya. Makanya waktu datang heli tuh kami kaget, kami keluar, kirain galodoh," kisahnya.
Kini, meski bantuan sudah berdatangan, ingatan tentang Kamis sore yang kelam itu masih jelas terpampang. Luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh dibanding kerusakan fisik di kampung halamannya.
Artikel Terkait
PTAR Bantah Keterkaitan Tambang Emas Martabe dengan Banjir Bandang Batang Toru
Ganjar Desak Pemerintah Tetapkan Bencana Nasional untuk Aceh dan Sumatera
Gembong Narkoba Dewi Astutik Bolak-Balik Thailand-Hong Kong Usai Visa Kamboja Habis
Bantuan Eskavator dan Genset Dikirim untuk Korban Banjir Bandang Agam