Mayndra menjelaskan bahwa propaganda awal biasanya disebar lewat platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan tentu saja game online. "Jadi, tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik," tuturnya.
Menanggapi hal ini, pemerintah tak tinggal diam. Meutya Hafid menegaskan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS), anak di bawah 13 tahun dilarang memiliki akun media sosial sendiri. Kementeriannya juga telah berkoordinasi dengan berbagai platform terkait aturan ini.
"Untuk orang tua agar selalu mendampingi anak-anaknya dalam berselancar di dunia maya. Untuk menunda akses anak membuat akun agar mengikuti PP TUNAS yang menunda akses akun anak dari 13-18 tahun sesuai profil resiko platform," pesan Meutya saat dihubungi Jumat (21/11/2025).
"Sesuai aturan PP Tunas Nomor 17 tahun 2025 platform dilarang memberikan akses akun anak di bawah usia 13 hingga 18 tahun sesuai profil resiko," imbuhnya lagi.
Upaya penanganan pun terus dilakukan. Meutya mengungkapkan bahwa Kementerian Komunikasi dan Digital telah menangani 8.320 konten bermuatan radikalisme dan terorisme dalam satu tahun terakhir.
"Khusus untuk konten radikal 8300 selama satu tahun ini. Bersumber, mayoritas Meta, Google, Tiktok, X, Telegram, layanan file sharing, snack video dan lain-lain. Ini hasil kerjasama pemantauan dari Densus 88 dan BNPT bersama Komdigi," jelasnya.
Langkah ini menjadi penting mengingat ancaman yang semakin nyata. Dunia maya, yang seharusnya menjadi ruang belajar dan bermain, justru disusupi oleh bahaya laten yang mengincar generasi muda.
Artikel Terkait
Kobaran Api dari Korsleting Lahap Dua Gedung Hotel Wira Carita
KAI Buka Diskon 30% Tiket Kereta untuk Libur Natal dan Tahun Baru
Atap MRT Senayan Ditambal Seng, Sisa Pohon Tumbang Masih Dibersihkan
Thailand Perketat Imigrasi, Visa Run Kini Jadi Sorotan