Ini jadi masalah serius. UE memang menyatakan kesediaannya membantu, tapi selama Hamas masih punya kendali atas separuh Gaza, kecil kemungkinan para donor mau mengucurkan dana untuk rekonstruksi. Perdana Menteri Mustafa pun mengakui bahwa dana UE mungkin pada tahap awal akan mengalir ke wilayah yang dikuasai Israel, padahal mayoritas warga Gaza justru berada di luar wilayah itu.
Reformasi: Harga yang Harus Dibayar PA
Konferensi donor ini bukan yang pertama. Awal tahun ini, Prancis dan Arab Saudi sudah memimpin konferensi internasional yang mendorong solusi dua negara. Deklarasi konferensi itu mendesak PA melakukan berbagai reformasi, termasuk di sektor pendidikan – sesuatu yang juga didorong oleh Israel.
Isu ini bahkan memicu perdebatan sengit antara menteri luar negeri Israel dan Prancis di media sosial X. Gideon Saar, menlu Israel, menuduh Prancis mengabaikan kekhawatiran soal "penghasutan" dalam sistem pendidikan Palestina dan program tunjangan bagi keluarga tahanan. Jean-Noel Barrot, menlu Prancis, membalas bahwa tuduhan itu "sangat tidak adil" dan bahwa Presiden Macron telah mendapat komitmen yang belum pernah diberikan sebelumnya dari PA.
Menanggapi tekanan, Presiden PA Mahmoud Abbas akhirnya mengumumkan pencabutan program tunjangan yang sering dikritik sebagai "pay for slay". Program itu diubah menjadi bantuan berbasis kebutuhan. Barrot dengan bangga menulis di X, "'Pay for slay' telah berakhir pada 1 Agustus."
Pemilu: Pertanyaan yang Masih Menggantung
Presiden Abbas sebenarnya sudah berjanji pada UE bahwa pemilu akan digelar setahun setelah perang Gaza berakhir. Tapi anehnya, pemilu justru tidak termasuk dalam persyaratan reformasi yang diminta UE untuk pencairan bantuan.
Menurut Perdana Menteri Mustafa, UE sebenarnya punya daya tawar untuk mendorong pemilu lebih awal. Mereka bisa saja menautkan pendanaan dengan reformasi demokrasi. Tapi rupanya, ada kekhawatiran mendalam di kalangan diplomat UE. Kekhawatiran akan kemenangan Hamas, seperti yang terjadi pada 2006, membuat UE memilih bersikap hati-hati. Alih-alih mendesak pemilu, mereka lebih memilih memberikan dukungan simbolis dan mempertahankan PA sebagai alternatif dari Hamas.
Para ahli melihat ini sebagai upaya UE untuk mempertahankan solusi dua negara melalui PA, meski rintangan yang dihadapi tidak kecil.
Saat ini, UE bahkan sudah menempatkan perwakilan diplomatik senior di Civil-Military Coordination Center (CMCC) di Kiryat Gat, Israel selatan. Perwakilan dari setidaknya 10 negara anggota, termasuk Jerman, ada di sana untuk berdiskusi tentang masa depan Gaza. Yang menarik – dan mungkin ironis – dalam pembicaraan tentang masa depan Gaza itu, tidak ada satu pun pejabat Palestina atau organisasi masyarakat sipil yang dilibatkan.
Artikel Terkait
Gedung Putih Bantah Klaim Afsel Soal Perubahan Sikap AS di G20
Pekerja Gereja GIDI Motulen Ditemukan Tewas Dibacok di Yahukimo
Menteri Bosnia Kirim Helm Nazi ke Diplomat Jerman, Protes Keras Terhadap Campur Tangan Asing
Guru PPPK Ditemukan Tewas Terikat di Kontrakan Sumsel