Kini, melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025, nama Soeharto kembali diusung untuk menerima gelar Pahlawan Nasional. Pemerintah beralasan bahwa pemberian gelar ini didasarkan pada kontribusinya di bidang pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional. Namun, di sisi lain, keputusan ini dinilai oleh banyak pihak, termasuk keluarga korban, sebagai bentuk pengabaian terhadap tuntutan keadilan yang telah lama mereka perjuangkan.
Dalam situasi seperti ini, peran Menteri HAM seharusnya menjadi sangat krusial. Tugasnya adalah memastikan bahwa prinsip-prinsip hak asasi manusia dan martabat para korban tidak terabaikan oleh pertimbangan politik apa pun. Ketika Pigai, yang dikenal vokal dalam berbagai isu HAM, memilih untuk diam, sikap tersebut dapat ditafsirkan sebagai sebuah pesan bahwa negara tidak lagi memprioritaskan perlindungan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.
Ungkapan "No komen" mungkin terlihat netral secara politis. Namun, dalam konteks bangsa yang masih berusaha berdamai dengan masa lalunya yang kelam, sikap diam justru dapat diartikan sebagai bentuk penyangkalan. Seolah-olah negara berusaha menutup lembaran sejarah dengan penghargaan, alih-alih dengan proses hukum dan rekonsiliasi yang transparan.
Apabila pemerintah terus-menerus mengabaikan tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM dengan dalih jasa di bidang lain, maka nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi akan semakin tergerus. Dan ketika pejabat yang diberi mandat untuk membela hak asasi manusia memilih untuk bungkam, dapat disimpulkan bahwa perlindungan HAM di Indonesia sedang berada dalam ancaman serius.
Artikel Terkait
Inovasi Pangan Fungsional Fapet UGM: Sapi Gama hingga Telur Omega-3 untuk Indonesia Emas 2045
Guru Dipecat dan Dipenjara Usai Bantu Honorer di Luwu Utara, Ini Kronologinya
Skandal Korupsi Energi Ukraina: Menteri Kehakiman Digantung, Tersangkut Dana 100 Juta Dolar
Sengketa Tanah Jusuf Kalla vs Lippo: Fakta Keterlibatan Jenderal TNI dan Mafia Tanah