Kapan Kebaikan Berubah Menjadi Komoditas?
Tidak semua unggahan kebaikan di media sosial bermasalah. Banyak yang tulus menginspirasi dan menggalang dana untuk tujuan mulia. Namun yang berbahaya adalah ketika kebaikan berubah menjadi komoditas atau strategi branding semata.
Bagi sebagian orang, kebaikan telah menjadi mata uang sosial. Mereka mengukur kesuksesan kebaikan bukan dari dampak nyatanya, melainkan dari metrik digital: engagement rate, jumlah share, dan komentar pujian.
Pertanyaan Mendasar: Di Mana Letak Keikhlasan?
Dalam berbagai tradisi spiritual, kebaikan sejati dilakukan secara diam-diam. Tujuannya tunggal: menolong sesama dan mencari ridho Illahi. Kebaikan sejati tidak membutuhkan aplaus atau notifikasi like. Ia cukup menjadi urusan pribadi antara individu dengan nuraninya.
Ketika kebaikan harus dibingkai, diberi hashtag catchy, dan dipertontonkan, seringkali ia hanya menjadi panggung bagi ego yang terselubung. Kita menjadi pecandu validasi digital, di mana nilai diri diukur dari seberapa banyak orang setuju bahwa kita adalah orang baik.
Solusi: Mencari Kepuasan Batin, Bukan Kepuasan Algoritma
Kita tidak bisa melarang orang memposting kebaikan, namun kita bisa mengubah cara kita menavigasi media sosial. Langkah pertama adalah memeriksa niat sebelum mengunggah: Apakah ini benar-benar untuk menginspirasi atau sekadar mencari pujian? Apakah saya mengobjektifikasi orang yang saya bantu?
Belajarlah dari mereka yang menjadi "malaikat" tanpa badge digital. Mereka yang menyumbang tanpa difoto, menolong tanpa live report di Instagram Story, dan mencari kepuasan batin yang mendalam - jauh dari kebisingan linimasa.
Sebab pada akhirnya, yang benar-benar bermakna adalah perbuatan itu sendiri, bukan caption yang menyertainya. Keadilan sejati tetap menjadi urusan antara kita, nurani kita, dan alam semesta.
Artikel Terkait
Tim KPK Usut Dugaan Korupsi Kuota Haji, Periksa Lokasi di Mina
Di Balik Gerobak Bakso Pangandaran: Kisah Nelayan yang Bertahan di Tepian
Bupati Lampung Tengah Tersandung Suap Rp5,7 Miliar untuk Bayar Utang Kampanye
Suharti Buka Suara: Data Pendidikan Masih Banyak PR Meski 71,9% Dinilai Baik