PP Hukum yang Hidup: Bom Waktu Hukum Adat Jelang KUHP 2026, Siapkah Indonesia?

- Sabtu, 25 Oktober 2025 | 10:50 WIB
PP Hukum yang Hidup: Bom Waktu Hukum Adat Jelang KUHP 2026, Siapkah Indonesia?

PP Hukum yang Hidup: Tantangan Krusial Jelang Penerapan KUHP Baru 2026

Waktu terus berdetak menuju Januari 2026, bulan yang akan menandai mulai berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, menggantikan warisan kolonial yang telah berusia lebih dari satu abad.

Namun, di balik gegap gempita reformasi hukum ini, terselip kegelisahan mendasar: beberapa peraturan pelaksana dari KUHP baru belum juga diterbitkan pemerintah. Salah satu yang paling krusial adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, sebagaimana diamanatkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

Mengapa PP Hukum yang Hidup Sangat Penting?

Tanpa PP ini, ruh dari pasal paling progresif dalam KUHP baru berpotensi kehilangan maknanya. Pasal tersebut mengakui bahwa selain hukum tertulis, ada pula "hukum yang hidup" (living law) di tengah masyarakat—norma-norma adat yang masih dipatuhi komunitas-komunitas hukum adat di seluruh Nusantara.

Namun pengakuan di atas kertas tidak cukup. Tanpa dasar hukum yang mengatur bagaimana "hukum yang hidup" itu ditetapkan dan diakui negara, penerapannya akan menghadapi jalan buntu.

Jalan Panjang Pengakuan Hukum Adat di Indonesia

Pasal 2 KUHP baru merupakan pengakuan monumental terhadap pluralitas hukum Indonesia. Negara mengakui keberadaan hukum pidana adat, sepanjang prinsipnya selaras dengan nilai-nilai Pancasila, hak asasi manusia, serta ketertiban umum.

Artinya, ketika masyarakat adat menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pelanggaran adat, negara dapat memberikan ruang legitimasi. Namun agar mekanisme ini sah dan tidak tumpang tindih dengan hukum pidana nasional, dibutuhkan pedoman yang jelas—itulah peran PP yang belum juga hadir.

Tanpa PP tersebut, aparat penegak hukum akan gamang: bagaimana cara menentukan apakah sebuah norma adat memenuhi kriteria "hukum yang hidup"? Siapa yang berhak menilai—pengadilan, pemerintah daerah, atau lembaga adat itu sendiri? Bagaimana pembuktiannya di pengadilan?

Potensi Konflik Hukum Tanpa Regulasi yang Jelas


Halaman:

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini