PP Hukum yang Hidup: Bom Waktu Hukum Adat Jelang KUHP 2026, Siapkah Indonesia?

- Sabtu, 25 Oktober 2025 | 10:50 WIB
PP Hukum yang Hidup: Bom Waktu Hukum Adat Jelang KUHP 2026, Siapkah Indonesia?

Tanpa PP yang mengatur tata cara dan kriteria penetapan hukum adat, potensi konflik antaraturan bisa muncul. Misalnya, jika sebuah komunitas adat menjatuhkan sanksi adat terhadap pelaku, tetapi aparat kepolisian juga menuntutnya berdasarkan KUHP nasional.

Apakah itu berarti seseorang bisa dihukum dua kali? Atau sebaliknya, apakah sanksi adat bisa menggugurkan tuntutan pidana negara? Inilah mengapa kehadiran PP menjadi kunci koordinasi antara hukum negara dan hukum adat.

Mendesak: Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat Adat

Lebih dari sekadar diterbitkan, PP tentang hukum yang hidup harus dibahas secara partisipatif. Tidak bisa hanya dirancang di meja birokrasi Jakarta. Ia perlu menyerap aspirasi dari komunitas hukum adat di lapangan—dari Toraja hingga Papua, dari Baduy hingga Bali.

Sosialisasi juga menjadi kunci. Banyak masyarakat hukum adat bahkan belum mengetahui bahwa KUHP baru mengakui keberadaan hukum adat mereka. Tanpa komunikasi yang baik, perubahan hukum sebesar ini bisa lewat begitu saja tanpa menyentuh akar rumput.

Menjembatani Hukum Negara dan Hukum Adat

Mengharmonikan hukum negara dan hukum adat bukan perkara mudah. Di satu sisi, negara perlu menjaga keseragaman sistem hukum agar kepastian hukum tetap terjaga. Di sisi lain, hukum adat merefleksikan nilai-nilai lokal yang justru menjadi kekuatan bangsa ini.

Tugas besar pemerintah adalah menjembatani dua dunia itu—tanpa mematikan salah satunya. Sebab hukum yang baik bukan hanya yang tertulis, tetapi yang hidup dalam kesadaran kolektif rakyatnya.

Jika PP ini lahir dengan cermat dan adil, Indonesia akan melangkah ke era baru: hukum pidana nasional yang berakar di tanahnya sendiri, bukan bayangan dari masa kolonial. Namun jika tidak, KUHP baru hanya akan menjadi simbol reformasi yang hampa.

Pada akhirnya, keberhasilan pemberlakuan KUHP baru tidak hanya diukur dari tanggal efektifnya, tetapi dari sejauh mana ia mampu menyentuh denyut kehidupan hukum yang sesungguhnya: hukum yang hidup dalam masyarakat. Dan untuk itu, waktu hampir habis. Pemerintah harus bergegas—bukan hanya agar peraturannya lengkap, tapi agar keadilan benar-benar tumbuh dari akar budaya bangsa sendiri.


Halaman:

Komentar