Sanjoto, Sosok Pemburu Aidit yang Kini Menghuni Rumah Bekas Markas PKI

- Kamis, 02 Oktober 2025 | 11:00 WIB
Sanjoto, Sosok Pemburu Aidit yang Kini Menghuni Rumah Bekas Markas PKI


MURIANETWORK.COM
- Sebuah rumah sederhana di Jalan Blimbing Raya No. 34, Kelurahan Peterongan, Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah menyimpan sejarah gelap pascaperistiwa Gerakan 30 September (G30S). Penghuninya, Sanjoto, merupakan pelaku sejarah yang ikut memburu D.N. Aidit.

KINI usia Sanjoto sudah 95 tahun. Rambutnya putih, langkahnya pun pelan.

Namun, daya ingatnya masih setajam saat dia muda. Tubuhnya yang renta itu menyimpan kisah panjang.

Pensiunan tentara dengan pangkat terakhir kapten tersebut pernah menjadi bagian dari operasi militer memburu Dipa Nusantara (DN) Aidit, pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa gelap dalam perjalanan Indonesia itu.

“G30S itu dalangnya PKI. Begitu meletus siang, sorenya itu pusat memberi instruksi,” kenang Sanjoto saat ditemui JPNN.com di kediamannya, Selasa (30/9).

Setelah G30S di Jakarta menunjukkan kegagalan, Aidit kabur dari ibu kota. Tujuannya ke Jawa Tengah.

Pada saat itu Sanjoto masih berpangkat letnan di Corps Polisi Militer (CPM) Kodam IV Diponegoro. Dia mendapat perintah rahasia dari atasannya untuk mencari rumah yang akan digunakan Aidit untuk tempat singgah setelah kabur dari Jakarta.

"Usahakan ditangkap hidup-hidup," ucap Sanjoto menukil perintah atasannya.

Dengan perintah itu, Sanjoto bergerak. Berbekal informasi tentang pergerakan Aidit saat itu, Sanjoto menyisir kawasan Peterongan.

Namun, upaya itu belum berbuah. Sanjoto tidak menemukan sekretaris jenderal PKI itu.

Akhirnya, seorang perwira Kodim Semarang mengarahkan Sanjoto ke sebuah rumah di Jalan Blimbing Raya. Lagi-lagi upayanya kandas.

Ketika tiba di rumah tersebut, Sanjoto justru mendapati warga mengepung bangunan yang menjadi kantor PKI itu. Warga juga membakar papan nama PKI dan merobek-robek bendera palu arit.

Ternyata, Aidit sudah tidak ada di rumah itu. Dia beserta rombongannya meninggalkan tempat singgah itu sekitar dua jam sebelum Sanjoto dan tim pemburu tiba.

Meski gagal mencegat Aidit di Semarang, Sanjoto menemukan petunjuk arah pelariannya. Tokoh komunis asal Belitung itu menuju selatan.

Sanjoto pun berkoordinasi dengan pasukan lain. Saat itu komunikasi masih sering menjadi kendala.

Hingga akhirnya kabar datang dari Solo. Tim pemburu dari pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) menangkap Aidit di rumah eks pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di Solo pada 21 November 1965.

Sehari kemudian tentara membawa Aidit ke Boyolali. Di situlah hidupnya berakhir karena dibedil.

Sanjoto juga membeberkan kenangannya tentang kondisi Semarang pada 1965 yang dipenuhi ketegangan. Tentara, polisi, dan simpatisan PKI saling bergerak.

Sebagai anggota CPM, Sanjoto ikut dalam operasi-operasi militer di Kota Semarang dan sekitarnya. Tentara mengerahkan kendaraan lapis baja untuk melaksanakan patroli militer menjangkau Kabupaten Demak, Grobogan, hingga Kendal.

Namun, Semarang yang kala itu dianggap titik rawan menjadi fokus utama operasi. "Banyak sekali anggota PKI di Semarang ditumpas," tutur Sanjoto.

Empat tahun kemudian, Sanjoto dipanggil atasannya. Dia diberi hadiah berupa rumah yang sebelumnya menjadi markas PKI di Semarang.

Sejak 1970, Sanjoto resmi menempati bangunan yang saat itu dalam kondisi rusak parah. Dengan bantuan dana Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng), rumah itu diperbaiki.

Kini Sanjoto menempati rumah bercat krem dengan pagar kayu dan gerbang besi berkarat itu. Tentu tidak ada lagi simbol-simbol PKI di rumah itu.

Kaligrafi tampak terpajang di rumah Sanjoto. Beberapa foto menghiasai dinding rumah itu, salah satunya adalah potret Sanjoto saat masih muda dengan seragam militer.

Ada pula potret Bung Karno di atas Jeep Willys dengan kawalan CPM. Sanjoto ada dalam potret itu sebagai sopir saat Presiden Pertama RI tersebut berkonvoi dari Losari di Brebes hingga Tegal, Jawa Tengah.

Saat masih berpangkat sersan satu pada 1958, Sanjoto menjadi penerima Surat Tanda Jasa Pahlawan. Surat bernomor 71844 itu ditandatangani oleh Bung Karno selaku Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI.

Selain itu, Sanjoto juga menerima Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVIR) pada 2018. Rumah yang ditempatinya itu juga menjadi Markas Ranting 4 LVRI Semarang.

"Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari perjalanan hidup saya," ujarnya.

Sebagai tentara, Sanjoto membangun karier militernya jauh sebelum 1965. Pada masa pendudukan Jepang, dia bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA).

Syahdan, Sanjoto masuk ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jauh sebelum terlibat perburuan terhadap komunis, dia juga pernah ikut operasi penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Tegal.

Akhirnya Sanjoto pensiun pada 1982 dengan pangkat kapten. Kini, di usia senja, Sanjoto hidup tenang di rumah yang pernah menjadi markas partai terlarang itu.

“Dari markas PKI jadi rumah saya. Itu sejarah yang tidak boleh dilupakan,” ujarnya.

Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tsabit Azinar Ahmad menuturkan rumah yang kini dihuni Sanjoto merupakan salah satu titik sejarah lahirnya gerakan PKI di Kota Semarang.

"Semarang itu menjadi tempat lahirnya Partai Komunis Indonesia yang berawal dari Sarekat Islam. Ketua pertama PKI, Semaun, saat itu juga menjabat sebagai ketua Sarekat Islam cabang Kota Semarang," ujarnya.

Menurut Tsabit, peran Semaun sangat penting karena aktif di Serikat Buruh Kereta Api dan Trem atau ereniging van Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP) di masa Hindia Belanda. Semaun juga murid dari tokoh sosialis Belanda Henk Sneevliet yang mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).

"Gerakan Sarekat Islam di Semarang unik karena berbasis buruh dan identik dengan aksi pemogokan. Berbeda dengan Sarekat Islam di Solo yang berbasis perdagangan, atau di Banjarnegara-Purbalingga yang lebih bersifat religius," ujarnya

Sumber: jpnn

Komentar