DEMONSTRASI yang sudah berkembang menjadi amuk massa ekstrem menjadi indikator betapa rapuhnya basis pertahanan politik Presiden Prabowo Subianto.
Belum genap setahun menjabat, alarm bahaya sudah berbunyi. Prabowo terjepit di antara banyak kepentingan dan berhadapan dengan banyak kelompok.
Prabowo bukan hanya berhadapan dengan kekuatan besar oligarki yang tidak diuntungkan dengan rezim Prabowo, tapi juga berhadapan dengan kekuatan politik lainnya atau pemain lama, termasuk berhadap-hadapan dengan rakyat yang tidak puas atas kebijakan pemerintah dan DPR.
Sejak dilantik, Prabowo terlalu percaya diri dengan inner cyrcle-nya yang terbukti gagal "melindungi" Prabowo saat ini dari tekanan politik besar.
Lingkaran dalam Prabowo tampak tidak bisa berbuat apa-apa dalam kondisi chaos seperti saat ini. Apa yang bisa dilakukan sekelas Letkol Teddy Indra Wijaya dalam menghadapi turbulensi politik sebesar ini?
Gerbong dalam Prabowo masih terlihat seperti “pemain baru” dan "amatir" dalam mengelola kekuasaan.
Postur kabinet gemuk ternyata tidak berbanding lurus dengan kokohnya political defense Prabowo karena cenderung bertumpu pada gerakan "asal rangkul" di level elite.
Gaya politik akomodatif Prabowo tak membuahkan hasil signifikan dalam memperkuat stabilitas politik, padahal mayoritas parpol sudah dikuasai Prabowo.
Bagi-bagi kekuasaan ala Prabowo baik ke lingkaran dalam mapun keluar, tidak diimbangi dengan penguatan inner cyrcle, khususnya orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan sebagai negosiator politik handal.
Di lingkaran dalam Prabowo, hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan luwes dalam menjalin komunikasi politik secara taktis dan strategis dengan berbagai kelompok seperti Prof. Sufmi Dasco Ahmad.
Hanya saja, peran-peran Don Dasco juga terbatas dan tidak setiap saat dilibatkan Prabowo dalam setiap momentum strategis.
Friksi internal yang mengental di tubuh Gerindra memberi andil terhadap lemahnya basis pertahanan politik Prabowo.
Faksi hijau-militer yang sudah dikuasai Prabowo belum sepenuhnya bisa diandalkan dalam membantu mengendalikan stabilitas politik dan menopang kekuatan politik Prabowo.
Kerja-kerja intelijen juga belum maksimal dalam mendeteksi gerakan deligitimasi kepemimpinan Prabowo dan mencegah gerakan provokasi sistemik yang meluas.
Sementara itu, polisi, masih menjadi warisan kekuasaan lama. Hingga saat ini, tak ada kode Presiden Prabowo untuk mengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dengan dukungan kekuasaan lama, tampaknya Kapolri cukup percaya diri memimpin.
Meskipun didesak mudur oleh banyak kalangan, Kapolri tak bergeming, bahkan “menantang” balik Presiden Prabowo dengan menyatakan penggantian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden.
Dengan basis pertahanan politik yang rapuh, kemungkinan Prabowo jatuh sebelum Desember 2025 memang masih fifty-fifty. Ada banyak variabel yang harus dihitung.
Dalam jangka pendek, salah satu variabel yang cukup menentukan adalah bagaimana pendekatan polisi dalam menghadapi gelombang demo dan amuk massa ke depan.
Perintah Prabowo agar TNI-Polri menindak tegas pelaku demo anarkis, bisa menjadi pisau bermata dua; bisa membuat situasi politik menjadi stabil kembali atau justru sebaliknya, membuat ledakan amuk massa ekstrim semakin meluas.
Semua bergantung pada kerja-kerja pihak kepolisian, bagaimana menterjemahkan perintah menindak tegas tersebut.
Ketika terjadi demonstrasi atau kerusuhan, ada banyak celah di lapangan yang membuat aparat bisa leluasa menerabas aturan atau rambu-rambu atas nama “tindakan tegas".
Ketika jatuh korban, sangat mudah bagi Polri untuk mencari alasan atau pembenaran, tinggal melempar kesalahan kepada presiden sebagai sang pemberi perintah.
Begitu juga dengan psikologi massa yang sangat mudah terprovokasi untuk semakin brutal dan anarkis. Demo 25 dan 28 Agustus 2025 dan setelahnya, tak bisa sepenuhnya disebut organik atau gerakan masyarakat murni karena berkelindan dengan banyak kepentingan.
Artikel Terkait
KPK Didesak Usut Jokowi-Luhut: Ada Apa di Balik Proyek Kereta Cepat?
Muda dan Berani: Sosok Jupiter yang Berhasil Guncang Lahan Basah Parkir Jakarta
Viral! Penonton Pria Tampar Biduan Grobogan Usai Menolak Dipeluk, Awalnya Bikin Pangling
Gaji Polri di SPPG Tembus Rp 672 Juta/Bulan? Jawa Tengah Paling Banyak!