SEORANG anak bangsa bernama Affan Kurniawan, ojek online yang sehari-hari mengais rezeki di jalanan, akhirnya ditelan aspal Senayan, dilindas mobil rantis seberat 12 ton. Tragis, heroik, sekaligus ironis.
Ia bukan mati di medan perang lawan penjajah, melainkan di depan Gedung DPR -gedung yang katanya rumah rakyat, tapi entah rakyat yang mana. Dari sanalah slogan demonstrasi paling populer lahir: "Bubarkan DPR!"
Namun, seperti kata Mahfud MD, mantan Menko Polhukam yang hobi bicara normatif, tuntutan seperti itu mustahil. Parlemen adalah roh demokrasi. "Terlalu berisiko dan mengada-ada kalau sampai minta DPR dibubarkan," katanya seraya menegaskan dirinya sedang bicara serius.
Betul, tapi mungkin massa yang tumpah di Senayan itu tidak sedang bicara soal roh. Mereka bicara soal hantu. Hantu DPR yang gentayangan di ruang rapat, menyedot anggaran, lalu menakut-nakuti rakyat dengan undang-undang yang tiba-tiba lahir tengah malam.
Bagi akademisi, "Bubarkan DPR" tentu hanya hiperbola politik. Sebuah ekspresi frustrasi massal. Dalam kajian komunikasi politik, itu disebut seruan delegitimasi simbolik -semacam teriakan ventilasi kolektif ketika ruang formal tak lagi dipercaya.
Data survei LSI bahkan menunjukkan titik nadir legitimasi rakyat pada Parlemen. Hanya sekitar seperempat rakyat Indonesia yang percaya DPR bekerja untuk kepentingan publik. Sisanya mungkin lebih percaya dukun kampung atau ustadz TikTok.
Jadi ketika rakyat berteriak, "Bubarkan DPR," mereka sejatinya tidak sedang bicara tentang membakar konsep perwakilan, melainkan tentang bubarkan serakahnomic, bubarkan mental bancakan, bubarkan keistimewaan. Hanya saja, rakyat di jalan tentu tidak sempat bikin catatan kaki.
Kalau kita perhatikan pola perusakan dalam demo belakangan ini, sebenarnya ada "teks politik" yang sedang ditulis dengan batu dan bensin. Coba Anda perhatikan. Rumah Ahmad Sahroni dkk dirusak, gedung DPRD dibakar, rumah Sri Mulyani diserang, kantor polisi dilempari. Ini sengaja disasar, bukan kebetulan.
Dalam analisis politik, sasaran itu adalah simbol. DPR dianggap lambang elite banci kompromi, DPRD hanya perpanjangan lidah pusat, Sri Mulyani personifikasi pajak dan utang yang mencekik, polisi wajah represi negara.
Kalau pemikir Slovenia Slavoj Žižek ada di Senayan sore itu menyaksikan demo, ia mungkin akan bilang: "Lihatlah, inilah bahasa terakhir ketika bahasa formal mati." Kekerasan massa adalah bahasa politik yang brutal, tapi sekaligus jujur.
Di balik puing-puing itu, sesungguhnya ada tuntutan nyata. Rakyat sudah muak dengan tontonan serakahnomic, sudah terlalu lama menunggu kapan DPR mengesahkan UU perampasan aset koruptor. Mereka sudah bosan dengan drama OTT yang ujungnya diskon vonis di pengadilan.
Mereka muak melihat anggota dewan menikmati tunjangan-tunjangan di tengah rakyat yang kantongnya menjerit akibat beras mahal. Mereka juga bertanya, kenapa maling ayam tidak boleh jadi ketua RT, tapi maling APBN bisa duduk manis di Senayan dan jadi komisaris, bahkan wakil menteri?
Lalu ada kemarahan terhadap polisi yang lebih sering melindungi penguasa ketimbang warga, dan ada kebencian pada kebijakan pajak yang naik ketika kantong rakyat makin bolong. Bahkan agenda jangka panjang ikut mencuat: makzulkan Gibran, kembali ke UUD 45 asli, benahi pengelolaan SDA dan BUMN.
Apakah semua ini realistis? Sebagiannya iya, sebagian lagi lebih mirip daftar belanja politik utopis. Tapi pesan utamanya jelas: kepercayaan rakyat berada di titik nadir. Jean-Jacques Rousseau pernah bilang, kontrak sosial runtuh kalau rakyat tak lagi percaya pada wakilnya.
Dan apa yang tersisa setelah kontrak sosial runtuh? Jawaban Rousseau, seolah mengutip pendapat Ibnu Khaldun: anarki. Rakyat mengamuk. Ironisnya, saat itu terjadi, negara kita lebih cepat melabeli rakyat "anarkis" ketimbang mencoba membaca teks politik di balik batu yang dilempar.
Jürgen Habermas mengingatkan bahwa demokrasi sejatinya lahir dari ruang publik -tempat rakyat bisa bicara, berdebat, dan menyampaikan aspirasi secara setara. Tetapi ruang publik di Indonesia makin menyempit. Parlemen tak lagi dipercaya sebagai forum deliberatif.
Di sini lain, media arus utama sibuk jadi corong elite, dan media sosial disesaki buzzer yang lebih rajin menggoreng isu ketimbang mengawal aspirasi. Maka jalanan menjadi ruang publik terakhir yang tersisa, meski dengan konsekuensi darah dan gas air mata.
Di sisi lain, Antonio Gramsci yang Markis menyebut hegemoni sebagai cara elite menguasai rakyat, bukan dengan kekerasan semata, tetapi lewat konsensus palsu. Maka, inilah yang kemudian terjadi: rakyat akhirnya sadar bahwa konsensus yang dibangun selama ini hanyalah ilusi.
Mereka diundang ke bilik suara lima tahun sekali, tapi yang terjadi kemudian mereka hanya jadi objek pajak, objek regulasi, dan objek represi. Ketika rakyat dicekik dengan ratusan jenis pajak, ketika hegemoni runtuh, yang muncul bukan sekadar kritik, tapi pemberontakan simbolik.
Maka tak mengherankan jika suara satir rakyat begitu tajam. "Kami para ojol tiap hari melawan order fiktif, kalian di DPR malah bikin undang-undang fiktif." Juga: "Kami rela panas-panasan demi ojek limabelas ribu, kalian terima gaji tujuh puluh juta tanpa pernah ngetem."
Jadi, apa sebenarnya tuntutan massa? Bukan sekadar "Bubarkan DPR" seperti slogan yang membahana di Senayan. Melainkan sebuah seruan lebih dalam: bubarkan drama DPR, dan hadirkan kembali demokrasi yang layak dipercaya.
Rakyat menginginkan demokrasi yang memberi ruang publik yang sejati, bukan ruang hampa yang penuh asap, gas air mata, dan janji-janji basi.
OLEH: AHMADIE THAHA
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Keluarga Laporkan Adik Hilang Usai Ikut Aksi di Kwitang
Prabowo Mengaumlah: Copot Kapolri, Reshuffle Kabinet, Singkirkan Geng Solo!
Jika Gibran Jadi Presiden, Indonesia Dipastikan Chaos
Kontroversi Kata-kata Tak Lazim Driver Ojol saat Ketemu Gibran, Heboh Isu Settingan Ojol Jadi-jadian