Di tengah badai politik yang menerpa hidupnya, mulai dari dipecat partai
hingga rumahnya dijarah Ahmad Sahroni kembali membuat jagat maya heboh.
Kali ini, bukan karena drama politik atau permohonan panik, melainkan sebuah
pengakuan jujur dan mengejutkan tentang masa lalunya yang jauh dari kata
cemerlang: nilai ijazahnya yang "jeblok".
Pengakuan ini sontak menjadi viral, memicu perdebatan sengit tentang
hubungan antara kesuksesan akademis dan kesuksesan hidup, terutama bagi
seorang figur kontroversial seperti 'Sultan Priok'.
Semua bermula dari sebuah pertanyaan lugas dari seorang netizen di platform
X (dulu Twitter). Akun dengan nama Son-goku @BenHadiwijaya menembak langsung
ke Sahroni.
"Pak itu beneran ponten ijazahnya cuman 6 sama 7?" tanya netizen tersebut.
Alih-alih mengelak atau marah, Sahroni justru memberikan jawaban yang
santai, blak-blakan, dan tanpa pembelaan.
Ia mengakui sepenuhnya kegagalannya di bidang akademis dan memberikan alasan
yang sangat bisa dipahami banyak orang.
"Akademis saya memang buruk dulu . Krn saya lebih senang pelajaran
olahraga," jawab Sahroni melalui akun resminya @SahroniNasdem.
Jawaban singkat ini langsung meledak, mendapatkan ribuan impresi dan ratusan
komentar. Sahroni seolah ingin menunjukkan bahwa nilai di atas kertas
bukanlah penentu takdir seseorang.
Akademis saya memang buruk dulu . Krn saya lebih senang pelajaran olahraga
— Sahroni Berdikari (@SahroniNasdem) August 31, 2025
Dari Nilai Merah ke Karpet Merah Politik
Pengakuan ini menjadi sangat menarik karena kontrasnya yang ekstrem. Ahmad
Sahroni adalah personifikasi dari narasi "dari nol menjadi pahlawan".
Ia memulai kariernya dari seorang sopir hingga menjadi pengusaha sukses dan
politisi berpengaruh di Senayan.
Kisah hidupnya yang penuh kemewahan, mulai dari koleksi mobil sport hingga
jam tangan mahal, seringkali menjadi sorotan.
Namun, pengakuannya tentang nilai ijazah yang pas-pasan ini membuka sisi
lain dari dirinya: bahwa di balik citra 'Sultan' yang ia bangun, ada seorang
anak muda yang mungkin lebih unggul di lapangan basket daripada di kelas
matematika.
Pengakuan ini seolah menjadi pesan, terutama bagi generasi muda, bahwa jalan
menuju sukses tidak hanya melalui pintu akademis.
Namun, di sisi lain, ini juga memicu kritik. Sebagian publik berpendapat
bahwa sebagai seorang legislator yang merumuskan undang-undang, kapasitas
intelektual dan akademis tetaplah penting.
Momen Refleksi di Titik Terendah?
Pengakuan ini datang di saat Sahroni berada di titik terendah dalam karier
politiknya. Setelah kehilangan jabatan dan kekuasaan, ia tampak lebih bebas
dan tanpa filter di media sosial.
Apakah ini sebuah strategi untuk membangun kembali citranya sebagai sosok
yang otentik dan merakyat?
Ataukah ini murni sebuah momen refleksi dari seseorang yang telah kehilangan
segalanya dan tidak lagi merasa perlu menjaga citra?
Apapun alasannya, pengakuan ini berhasil membuat publik kembali
membicarakannya, bukan lagi sebagai politisi yang jatuh, tetapi sebagai
manusia dengan masa lalu yang tak terduga.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah nilai akademis yang buruk relevan untuk
menilai kinerja seorang pejabat publik?
Atau kisah Sahroni membuktikan bahwa sukses bisa diraih lewat jalan lain?
Diskusikan di kolom komentar!
Sumber:
suara
Foto: Ahmad Sahroni (instagram)
Artikel Terkait
Remaja Pamer Jam Rp 11,7 M Hasil Jarahan Rumah Ahmad Sahroni, Kini Terancam Keciduk
Remaja Pamer Jam Rp11,7 M Hasil Jarahan Rumah Ahmad Sahroni, Kini Terancam Keciduk
Akan Ada Demo Besar-besaran di Yogyakarta, Mal Malioboro Tutup Hari Ini
Yaqut Cholil Qoumas Kembali Diperiksa KPK