Jika Jokowi Mati, Gibran Dibantai Republik

- Sabtu, 12 Juli 2025 | 17:20 WIB
Jika Jokowi Mati, Gibran Dibantai Republik



'Jika Jokowi Mati, Gibran Dibantai Republik'


Oleh. M. Yamin Nasution,S.H.

Pemerhati Hukum


Tulisan ini adalah sebuah analisis historis-filosofis, bukan hasutan, bukan ramalan. 


Ditulis dengan pendekatan komparatif, merujuk pada pemikiran Niccolò Machiavelli dalam Il Principe (1513), serta prinsip etis-spiritual Islam (QS Al-‘Ashr) yang menempatkan waktu sebagai hakim tertinggi atas setiap kekuasaan. 


Tulisan ini ingin menjadi pengingat, bahwa Gibran Rakabuming Raka, sebagai sosok yang mewarisi kekuasaan, harus belajar dari sejarah, karena tak satu pun manusia dapat melawan waktu.  


“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.”


“Jika kau tidak menghancurkan republik sampai akar-akarnya, maka ia akan menghancurkanmu suatu saat.” – Niccolò Machiavelli


Dari Cesare Borgia ke Gibran: Warisan yang Tak Siap


Tahun 1502, seorang bangsawan muda bernama Cesare Borgia (1475–1507) menguasai wilayah Romagna di Italia Tengah. 


Ia naik bukan karena perjuangan rakyat, tetapi karena darah: anak dari Paus Alexander VI. Kekuasaan diwarisinya bukan lewat legitimasi, tapi perlindungan dan manipulasi.


Niccolò Machiavelli, diplomat Republik Firenze, mengaguminya sebagai sosok ideal untuk penguasa baru: cepat, kejam, dan lihai memainkan simbol keadilan. 


Tapi semua itu runtuh dalam sekejap ketika sang ayah wafat. 


Tanpa fondasi kuat dan dukungan rakyat, Cesare kehilangan segalanya, dikalahkan oleh waktu dan sejarah.


 “Jika kamu tidak menghancurkan republik dari akarnya, maka ia akan menghancurkanmu nanti.” — Machiavelli


 Jokowi: Membangun Dinasti di Atas Republik yang Belum Mati


Lima abad setelah kejatuhan Cesare Borgia, Joko Widodo, datang dari Solo, bukan Vatikan, naik menjadi Presiden Indonesia. 


Ia bukan anak paus, bukan bangsawan. Ia lahir dari harapan rakyat biasa: seorang tukang kayu yang menjelma menjadi simbol perubahan.


Namun sejarah menunjukkan: simbol bisa dibajak. Harapan bisa disandera. 


Dan rakyat yang lelah oleh rezim militer dan elit korup akhirnya menyambut “kesederhanaan” sebagai penebus dosa masa lalu, tanpa tahu bahwa dalam kesederhanaan itu, tersembunyi proyek besar kekuasaan yang jauh lebih licin dan bengis.


Jokowi membangun kekuasaan bukan dengan moncong senapan, tapi dengan gaya hidup sederhana yang mengaburkan sentralisasi. 


Ia tidak memaksa, tapi membuat rakyat mencintai belenggu mereka. 


Ia tidak menghapus semangat reformasi dengan frontal, tapi menidurkannya lewat jargon-jargon populis: blusukan, makan pecel, naik motor butut.


Seperti yang pernah ditulis Machiavelli, cara terbaik membunuh ide kebebasan adalah dengan menghidupkan kembali kebiasaan lama yang membuat rakyat merasa merdeka, padahal sedang dijinakkan.


Jokowi menjinakkan republik dengan membiusnya secara kolektif. 


Ia membangun ilusi kemerdekaan: bantuan sosial yang dipersonalisasi, infrastruktur yang diagung-agungkan, dan narasi “rakyat kecil” yang terus dikapitalisasi. 


Tapi di balik itu, ia menghidupkan sentralisme lama dengan wajah baru. Segalanya kembali dikendalikan dari pusat: perizinan, proyek strategis, bahkan suara kampus.


“Rakyat tidak sadar ketika mereka dijadikan penonton dari panggung demokrasi yang telah diskenariokan.”


Jokowi,  tidak membangun negara yang kuat, tapi membentuk negara yang tergantung padanya. Sementara oposisi dikikis, elite diserap, dan hukum dikoreksi demi kelanggengan. 


Mahkamah Konstitusi pun dijadikan alat pembuka jalan bagi putranya, Gibran, masuk ke lingkar kekuasaan.


Dengan demikian, Jokowi bukan hanya membangun dinasti, ia merancang ulang republik, agar tampak demokratis, tapi dikendalikan oleh satu arus, satu wacana, satu garis darah. 


Ini bukan pengkhianatan yang frontal, melainkan pengingkaran halus terhadap amanat reformasi.


Ia mengganti sistem representasi dengan personalisasi. Gagasan diganti dengan gestur. 


Kemerdekaan diganti dengan kesetiaan pada figur. Rakyat tidak diberi kesadaran, hanya diberi tontonan.


Dan di situlah republik mulai kehilangan denyutnya. Ia tidak mati. Tapi ia dibuat merasa tidak perlu hidup. 


Dibuat percaya bahwa pemimpin sederhana adalah cukup, bahkan ketika ia mengunci arah negara kepada anaknya sendiri.


“Mereka mengira sedang hidup dalam demokrasi, padahal hanya sedang berjalan di lingkaran kekuasaan yang sama, dengan panggung yang lebih rapi dan aktor yang lebih bersih wajahnya.”

Halaman:

Komentar