Strategi Jitu Prabowo Hadirkan Mega dan Try Sutrisno di Hadapan Gibran, Kode Dukung Pemakzulan?
Oleh: Beathor Suryadi
Kader PDIP, Aktivis ProDem
Senin, 2 Juni 2025, sebuah momentum politik tak biasa terjadi dalam peringatan Hari Lahir Pancasila yang digelar di Kementerian Luar Negeri.
Dalam satu panggung negara yang sarat makna ideologis itu, Presiden Prabowo Subianto secara cermat dan simbolik menghadirkan dua tokoh nasional besar: Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI dan Ketua Umum PDI Perjuangan, serta Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-6 RI.
Keduanya duduk dalam jarak yang bisa dibilang strategis—terlihat, terdengar, dan terasa langsung oleh Gibran Rakabuming Raka, sang Wakil Presiden yang saat ini tengah digoyang oleh polemik legitimasi dan etika kekuasaan.
Langkah Prabowo menghadirkan Mega dan Try Sutrisno bukan sekadar seremoni.
Ini adalah pesan berlapis, kalkulasi matang, sekaligus sinyal yang menyasar langsung ke denyut politik internal kekuasaan.
Gibran tidak hanya disorot secara hukum dan etika konstitusional, tetapi kini juga dikunci secara simbolik oleh dua sosok yang mewakili poros sejarah dan moral bangsa—Megawati, sang penjaga trah ideologis Pancasila, dan Try Sutrisno, representasi suara militer senior yang kini memelopori gelombang kritik terhadap legitimasi Gibran.
Langkah ini mencerminkan kedewasaan politik Prabowo. Ia sadar, kekuasaan tidak dibangun semata melalui legalitas elektoral, tetapi juga melalui legitimasi moral dan dukungan simbolik dari poros sejarah bangsa.
Prabowo—yang sering digambarkan keras dan militeristik—kali ini bermain halus.
Ia memperlihatkan sikap negarawan, yang mampu menyatukan fraksi-fraksi elite nasional yang selama ini dianggap retak atau berseberangan.
Menghadirkan Megawati dalam momen penting kenegaraan adalah sinyal terbuka bahwa Prabowo siap merangkul dan membuka ruang rekonsiliasi dengan PDIP.
Apalagi, setelah Pemilu 2024 yang penuh luka dan tensi, PDIP kini berada dalam posisi dilematis: antara menjaga ideologi atau melindungi posisi politik.
Kehadiran Megawati dalam forum negara juga menegaskan bahwa meski kini berada di luar kekuasaan formal, PDIP masih menjadi salah satu tiang utama dalam konsensus kebangsaan.
Sementara Try Sutrisno, dalam beberapa bulan terakhir, diketahui memberikan restu pada gerakan Forum Purnawirawan TNI yang ingin memakzulkan Gibran karena dianggap melanggar semangat konstitusi melalui praktik nepotisme dan penyalahgunaan MK.
Menghadirkan Try di hadapan Gibran adalah langkah simbolik yang tajam: ini adalah “penghadapan sejarah”—antara generasi pejuang kemerdekaan dengan generasi kekuasaan yang lahir dari privilese.
Bagi Gibran, momen tersebut bisa menjadi pengalaman politik yang tidak mudah.
Ia duduk di antara kekuatan yang tidak hanya lebih tua, tetapi juga lebih dalam secara moral dan simbolik.
Ia adalah wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia—naik dengan dorongan politik dinasti dan keberpihakan lembaga yudikatif yang kontroversial.
Kehadiran Try dan Mega dalam satu ruangan dengannya bisa dibaca sebagai bentuk “pembingkaian ulang” terhadap narasi kekuasaannya.
Apakah Gibran akan membaca momen ini sebagai peringatan atau peluang refleksi? Itu pertanyaannya.
Namun yang jelas, Prabowo sedang menunjukkan kekuasaannya bukan hanya sebagai pemimpin negara, tetapi juga sebagai arsitek rekonsiliasi nasional.
Ia sedang memperlihatkan bahwa ia tidak berafiliasi semata pada satu keluarga politik, tetapi berdiri sebagai pemimpin yang mampu mempertemukan sejarah dengan masa depan.
Jika dibaca secara strategis, langkah Prabowo ini bisa berdampak pada banyak arah.
Pertama, ia memperkuat posisinya sebagai pusat gravitasi politik nasional.
Dengan merangkul Mega dan menyambut Try, ia menyatukan dua kekuatan yang potensial menjadi oposisi keras terhadap Gibran.
Kedua, ia menempatkan Gibran dalam posisi “politik magang”—di mana sang wakil presiden dipaksa belajar langsung dari sejarah dan senioritas.
Namun, langkah ini juga berisiko: apakah Gibran akan merasa dipojokkan?
Apakah ini awal dari upaya Prabowo untuk mengambil jarak dari keluarga Jokowi?
Apakah ini sinyal bahwa Prabowo sedang menyiapkan skenario transisi kekuasaan ke poros yang lebih luas—bukan semata pada garis trah keluarga Jokowi?
Dalam politik, simbol lebih tajam dari senjata. Dan Prabowo tahu betul bagaimana memainkan simbol.
Ia menghadirkan sejarah ke dalam ruang kekuasaan, bukan untuk mengutuk masa lalu, tetapi untuk menata masa depan.
Megawati dan Try Sutrisno bukan sekadar tokoh, mereka adalah penjaga moralitas politik yang dihadirkan kembali dalam arena kekuasaan untuk memberi pesan: kekuasaan harus tetap berpijak pada etika dan sejarah.
Maka, di Hari Lahir Pancasila, Prabowo bukan sekadar memperingati.
Ia sedang menulis ulang ulang babak sejarah, dengan tinta strategi dan pena simbolik. Dan Gibran?
Ia tidak bisa lagi sekadar menjadi penumpang, tetapi harus mulai memilih: apakah akan menjadi negarawan seperti Try dan Mega, atau sekadar pewaris kekuasaan yang kehilangan akar legitimasi. ***
Artikel Terkait
Ramai Kabar Jokowi Jatuh Sakit sampai Berobat ke Jepang, Ajudan Beberkan Faktanya
Inilah Nyali Trio Alumni UGM Membongkar Dugaan Ijazah Palsu Jokowi
Harta Deddy Corbuzier Capai Rp953 Miliar
Viral Iklan Promosi Candi Borobudur Sindir Haji dan Umroh, MUI: Jangan Senggol Agama Lain