Skripsi Tak Terjamah - Ijazah Tak Terlihat: Jejak Yang Hilang Dari Arsip Jokowi

- Kamis, 22 Mei 2025 | 13:25 WIB
Skripsi Tak Terjamah - Ijazah Tak Terlihat: Jejak Yang Hilang Dari Arsip Jokowi



Skripsi Tak Terjamah - Ijazah Tak Terlihat: 'Jejak Yang Hilang Dari Arsip Jokowi'


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)


Dalam dunia hukum, dikenal sebuah prinsip bernama notoire feiten atau notorious facts — fakta yang telah diketahui umum, dan karena itu tidak perlu dibuktikan lebih lanjut di pengadilan. 


Dalam konteks perdebatan panjang seputar keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi), prinsip ini justru berbalik arah: yang diketahui umum bukanlah fakta bahwa ijazah itu asli, melainkan bahwa Jokowi diduga telah membohongi publik dengan tidak pernah menyerahkan ijazah dan skripsi aslinya kepada otoritas hukum secara resmi.


Hingga hari ini, tak satu pun pernyataan dari Bareskrim maupun Reskrimum Polda Metro Jaya yang menegaskan bahwa mereka telah menerima dan memverifikasi dokumen asli berupa ijazah dan skripsi Presiden Jokowi. 


Justru sebaliknya, publik disuguhi pernyataan Jokowi yang menyiratkan keengganan untuk membuka dokumen tersebut secara transparan. 


Pernyataan beliau — “Saya akan memberikan dan memperlihatkan andai pengadilan yang meminta” — adalah penegasan bahwa hingga di Mabes Polri pun, yang diserahkan hanyalah fotokopi, bukan dokumen autentik.


Padahal, dalam kasus yang menyangkut kehormatan publik, otentikasi dokumen menjadi hal paling dasar. 


Apalagi ketika hal tersebut menyangkut keabsahan seorang kepala negara. 


Oleh karena itu, pemanggilan terhadap Roy Suryo Cs. oleh Polda semestinya dihentikan. 


Proses hukum tidak layak dilanjutkan tanpa terlebih dahulu memastikan validitas objek utama dari kasus ini, yakni ijazah yang diduga palsu. 


Tanpa kehadiran dokumen asli yang menjadi sumber polemik, maka apa pun bentuk klarifikasi atau pembelaan dari pihak Jokowi tidak dapat dianggap memadai secara hukum.


Selain itu, untuk mencegah dualisme hasil penyelidikan dan penyidikan, Mabes Polri semestinya mengambil alih perkara ini. 


Selain karena posisi Mabes Polri yang secara hirarki lebih tinggi dari Polda, juga karena pengaduan pertama kali telah dilakukan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) di Mabes Polri pada 9 Desember 2024 — mendahului pengaduan di Polda pada 30 April 2025.


Ada pula anggapan yang menyebutkan bahwa Roy Suryo Cs. tidak terkait langsung dengan laporan TPUA, sehingga tidak bisa dikaitkan dalam kasus ini. 


Namun argumen tersebut jelas keliru. Hasil analisa ilmiah dari Dr. Roy Suryo dan Dr. Rismon Sianipar bersifat identik dan saling melengkapi. 


Keduanya telah menyumbangkan temuan teknis dan forensik digital yang memperkuat dugaan pemalsuan. 


Maka, temuan mereka telah menjadi bagian integral dari alat bukti dalam laporan TPUA.


Laporan TPUA sendiri adalah pengaduan delik umum, bukan delik aduan. 


Artinya, substansi laporan tersebut menyangkut kepentingan publik luas, yaitu seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak untuk mengetahui kebenaran tentang keabsahan seorang presiden — jabatan politik tertinggi di republik ini.


Apabila sebuah ijazah S1 pun tidak dapat atau tidak mau ditunjukkan ke publik dan aparat hukum secara resmi, maka kecurigaan publik yang sudah meluas adalah konsekuensi logis. 


Ketika pengaduan dilakukan secara sah, dan dengan dukungan bukti ilmiah, maka pemerintah dan aparat tidak boleh mengabaikannya begitu saja.


Kasus ini bukan sekadar persoalan dokumen pendidikan, tapi tentang integritas negara. 


Tentang kebenaran. Tentang apakah kita masih memiliki keberanian untuk mengoreksi pemimpin ketika mereka menghindar dari pertanggungjawaban yang paling sederhana — menunjukkan selembar ijazah asli. 


Jika bahkan ini pun tidak dilakukan, bagaimana kita bisa percaya bahwa kebijakan yang lebih besar dijalankan dengan jujur dan terbuka?

Halaman:

Komentar