Air mata ini jatuh lebih dulu daripada kata-kata yang kutulis. Ada sesuatu di dalam diriku yang hancur, bahkan mungkin mati untuk selamanya.
Dan ini bukan cuma perasaanku sendiri. Coba tanyakan pada setiap warga Gaza yang terbebani tragedi, atau pada siapa saja di Palestina yang sudah terlalu sering menelan pil pahit kehilangan. Kekecewaan karena dunia memilih bungkam, itu rasa yang sama.
Abu Ubaidah. Di hadapan duka atas kepergianmu, kata-kata terasa begitu tak berdaya. Mereka tersandung, gagap, saat berusaha menyentuh kemuliaan posisimu.
Lalu, bagaimana caranya meratapi sosok yang sudah melampaui batas deskripsi biasa? Mustahil meringkas kisah sebesar ini dalam beberapa kalimat. Karena engkau bukan sekadar individu. Engkau adalah kisah sebuah umat, suara dari rasa sakitnya, sekaligus raut wajah martabatnya di tengah himpitan pengepungan yang tak berkesudahan.
Namun begitu, satu hal yang pasti: engkau bukan nama yang akan lewat begitu saja. Bukan pidato sesaat yang lalu terlupakan.
Engkau adalah keyakinan yang mengkristal di dalam hati. Ketenangan yang justru lahir dari balik reruntuhan. Bukti nyata bahwa rakyat ini, sedalam apa pun lukanya, masih punya kekuatan untuk tegak berdiri.
Artikel Terkait
2.617 Personel Amankan Aksi Buruh di Monas, Polisi Tegaskan Tak Bawa Senjata Api
Tere Liye Soroti Korupsi Dana MBG: Lebih Parah dari Mencuri Baut Jembatan
Dua Badai di Samudra Hindia Ancam Cuaca dan Gelombang di Indonesia
Pertemuan di Rumah Bahlil: Penguatan Koalisi atau Awal Retakan?