Para petinggi datang. Lengan baju digulung, tongkat pel di tangan, karung beras di pundak. Adegannya disusun rapi, persis seperti drama. Di tengah kerumunan, asap cerutu mahal kadang tercium aromanya asing, bertolak belakang dengan bau lumpur dan duka yang menyelimuti.
Mata para korban melihat semuanya. Mereka menyaksikan langsung empati yang sengaja difilmkan. Tanggung jawab yang tak pernah benar-benar disebut. Ditambah lagi dengan lakon para orang tua renta yang miskin namun sombong, lengkap sudah sinetron menyedihkan yang meracuni negeri ini.
Pertanyaannya, di mana izin-izin lama itu sekarang? Bagaimana dengan peta konsesi yang seenaknya memotong hulu? Kenapa bukit boleh runtuh bertahun-tahun, tapi rasa bersalah hanya muncul satu siang, itupun di depan kamera?
Karung beras dipanggul dengan bangga. Sementara itu, beban kebijakan yang seharusnya dipertanggungjawabkan justru ditinggalkan di luar bingkai.
Sebenarnya, Ranah Minang tidak butuh lakon-lakon seperti itu. Yang dibutuhkan adalah kejujuran. Jangan lagi menyebut ini murka alam. Apalagi menjadikan hujan sebagai kambing hitam. Sebut saja sebabnya dengan jelas: keputusan yang diambil jauh dari pinggir sungai, pembiaran yang dibiarkan mengeras jadi kelalaian, dan pujian pada hijau di tepi jalan yang cuma menenangkan nurani palsu.
Kalau kemarahan ini terdengar keras, itu karena tanahnya sendiri sudah lama berteriak tanpa ada yang mendengar. Kalau kata-katanya terasa tajam, ingatlah bahwa bukitnya telah disayat lebih dulu. Hijau yang masih tersisa tidak meminta sanjungan. Ia menuntut pertanggungjawaban. Sebelum nanti air datang kembali, membawa catatan kerusakan yang lebih panjang, dan tentu saja, lebih mahal harganya.
Negeri yang elok di pajangan, namun rapuh di lambung.
Artikel Terkait
Duel Panas di Stamford Bridge: Chelsea Hadang Villa yang Sedang Membara
Patung Harimau Putih Kediri: Ketika Karya Aneh Justru Menciptakan Destinasi
Naik Perahu di Ancol, Liburan Akhir Tahun yang Tak Pernah Sepi Pengunjung
Balangan Dibanjiri, Rumah-rumah Tenggelam dalam Genangan Ekstrem