Ranah Minang
Ranah Nan Rancak di Labuah
Alen Y. Sinaro
Ranah Minang selalu dipuji dalam pepatah. Dipeluk bukit, diselimuti hijau yang memanjakan mata. Tapi ternyata, di balik panorama yang sopan itu, tersimpan amarah yang sudah lama dipendam. Sawah teratur, lereng rapi. Semuanya tampak seperti janji yang ditepati. Namun, janji itu cuma untuk mata yang lewat cepat saja.
Cobalah masuk lebih ke dalam. Maka yang akan kau dengar bukan lagi desau angin, melainkan suara lain. Suara tanah yang terkelupas. Hulu sungai yang disayat-sayat. Akar pohon dicabut dari doa. Di sini, hijau bukan penjaga. Ia cuma tirai. Menutupi pekerjaan yang dikerjakan diam-diam di baliknya izin yang sudah diteken, peta yang dirapikan untuk kepentingan tertentu, dan kebisuan yang harganya murah sekali.
Lalu, hujan pun turun. Jangan salahkan hujan. Air cuma menjalankan tugasnya. Persoalannya, sungai yang kehilangan hutan tak lagi mengenal kata sabar. Ia membawa serta lumpur, batu, dan kayu. Menghantam rumah tanpa ampun. Menelan ladang. Bahkan menghapus alamat-alamat yang dulu dikenal.
Orang-orang ramai menyebutnya bencana alam. Padahal, ini lebih mirip jadwal yang sudah disusun lama. Sebuah konsekuensi yang sebenarnya bisa ditebak.
Setelah semuanya terjadi, barulah panggung dibuka. Kamera… action!
Artikel Terkait
Duel Panas di Stamford Bridge: Chelsea Hadang Villa yang Sedang Membara
Patung Harimau Putih Kediri: Ketika Karya Aneh Justru Menciptakan Destinasi
Naik Perahu di Ancol, Liburan Akhir Tahun yang Tak Pernah Sepi Pengunjung
Balangan Dibanjiri, Rumah-rumah Tenggelam dalam Genangan Ekstrem