Harus Suci Dulu Baru Boleh Kritik Korupsi? Ulama Salaf Bilang Itu Tipu Daya Iblis

- Senin, 22 Desember 2025 | 06:20 WIB
Harus Suci Dulu Baru Boleh Kritik Korupsi? Ulama Salaf Bilang Itu Tipu Daya Iblis

Mengkritik Korupsi Tak Menunggu Suci

Oleh: Arsyad Syahrial

Ada sebuah pernyataan yang belakangan beredar. Sekilas, ia terdengar seperti seruan untuk introspeksi diri sebuah ajakan moral yang mulia. Tapi jangan terkecoh. Di balik nada yang halus itu, terselip sebuah kesesatan berpikir. Pendekatannya justru bertentangan dengan manhaj Al-Qur'an dan Sunnah, dan sayangnya, sering dijadikan senjata oleh segelintir ustadz untuk membungkam kritik terhadap penguasa yang zalim.

Lalu, di mana letak persoalannya?

Mari kita kupas.

Pertama, soal "suci" dulu baru boleh bicara. Ini namanya kekeliruan logika. Dalam debat, kita mengenalnya sebagai tu quoque atau whataboutism. Intinya, menyerang pribadi si pengkritik, bukan membantah substansi kritikannya. Padahal, kebenaran sebuah argumen misalnya, bahwa korupsi merusak bangsa adalah hal yang objektif. Ia tidak tiba-tiba jadi salah hanya karena yang menyuarakannya juga punya cacat.

Coba pikir. Kalau syarat melawan kemungkaran adalah harus suci sempurna dulu, lalu siapa yang berhak? Nabi ﷺ sendiri bersabda, setiap anak Adam adalah pelaku dosa. Seorang hakim tak perlu bersih dari dosa untuk menghukum pencuri. Begitu pula, rakyat biasa tak harus suci agar boleh menuntut pertanggungjawaban pejabat yang korup.

Di sisi lain, Islam melihatnya sebagai dua kewajiban yang terpisah.

Yang pertama, kewajiban untuk menjauhi maksiat bagi diri sendiri. Yang kedua, kewajiban untuk amar ma'ruf nahi munkar. Keduanya berdiri sendiri. Gagal di yang pertama, tidak serta-merta menggugurkan yang kedua. Para ulama punya kaidah ushul yang jelas: satu kewajiban tidak gugur hanya karena kita mengabaikan kewajiban lainnya.

Nah, menurut para ulama salaf, pemikiran "harus bersih dulu baru bicara" ini justru tipu daya iblis. Biar bagaimana? Agar kemungkaran dibiarkan merajalela tanpa ada yang berani menegur.


Halaman:

Komentar