Menurut sejumlah saksi, situasinya cukup tegang tapi tetap tertib. Pesara pun akhirnya bubar dengan rasa kecewa.
Ironisnya, di saat satu diskusi dibubarkan, agenda justru meluas di tempat lain. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya 4 Desember, diskusi yang sama berlangsung terbuka di Pendopo Wakil Bupati Banyumas, undangan komunitas budaya Logawa. Lalu, tim penulis juga dijadwalkan hadir dalam diskusi resmi atas undangan Bupati Trenggalek pada 22 Desember.
Selama dua bulan ini, buku itu benar-benar dibedah di mana-mana. Ruang diskusinya beragam: kampus, sekolah, komunitas budaya, sampai forum petani dan nelayan. Jadinya, kegiatannya menjalar dari Jabodetabek, Serang, Bandung, ke Purwokerto, Yogyakarta, Solo, sampai ke Madiun.
Nah, pembubaran di Desa Gunungsari ini memunculkan pertanyaan yang serius. Soal ruang kebebasan berdiskusi di tingkat akar rumput. Bagi sebagian orang, kejadian seperti ini mengingatkan pada praktik lama. Di mana diskusi buku dan pertukaran gagasan sering dilihat dengan curiga, lalu dibungkus dengan alasan administratif dan keamanan. Padahal, yang dibicarakan cuma buku.
Artikel Terkait
Virgoun Geram, Tolak Dikaitkan dengan Setiap Masalah Inara Rusli
Antara Janji dan Realita: Refleksi Akhir Tahun yang Tak Sampai ke Warga
UMP Sulut 2026 Tembus Rp 4 Juta, Gubernur Yulius Tetapkan Kenaikan Rp 227 Ribu
SBY Dihantam Bencana Bertubi-tubi, Tapi Tak Pernah Curhat di Muka Umum