Tujuh Hari yang Menentukan Nasib Upah Buruh

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:00 WIB
Tujuh Hari yang Menentukan Nasib Upah Buruh

Angka-angka itu beredar tepat sebelum Natal. Sebuah dokumen PDF berlogo negara tiba-tiba muncul, dibaca oleh para pengurus serikat buruh dan aktivis yang sedang sibuk. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan resmi ditetapkan pada 17 Desember. Keesokan harinya, naskahnya baru sampai ke publik. Dan pada 24 Desember hanya enam hari kemudian para Gubernur harus sudah menetapkan upah minimum untuk tahun depan. Bagi Sunarno, Ketua Umum Konfederasi KASBI, ini lebih mirip sebuah ultimatum. Bukan dialog.

Jakarta masih basah oleh hujan sore ketika Sunarno menyelesaikan bacaannya. Dokumen setebal 23 halaman itu membuatnya terpaku pada satu kalimat: “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.” Tanggal itu adalah 17 Desember. Ia menghitung dalam hati. Hanya tersisa tujuh hari. Tujuh hari bagi buruh, pengusaha, dan pemerintah daerah untuk mencerna aturan baru, sebelum angka yang menentukan nasib puluhan juta pekerja diputuskan.

“Ini bukan revisi, ini pengulangan,” ujarnya. Suaranya datar, tapi terdengar letih.

Secara resmi, PP ini menggantikan PP 51/2023. Namun menurut pembacaan Sunarno dan tim hukumnya, substansinya tak jauh beda. Ia hanya perubahan kedua atas PP 36/2021, aturan turunan Omnibus Law Cipta Kerja yang dulu ditolak keras oleh serikat buruh. Seperti reruntuhan hukum lama yang disusun ulang, datang dengan bungkus dan tanggal baru.

Di sisi lain, yang membuatnya geram adalah prosesnya. Sangat tertutup. Minim partisipasi. Dan waktunya terlalu mepet. Bagaimana mungkin ruang dialog sosial bisa hidup?

“Naskah baru sampai ke publik 18 Desember, padahal batas penetapan upah minimum 24 Desember. Di mana ruang partisipasi? Di mana dialog sosial?” tanyanya.

Cerita tentang upah minimum di Indonesia, dalam pandangannya, adalah cerita wewenang yang pincang. Pemerintah pusat menetapkan kebijakan, tapi menyerahkan penetapan angkanya kepada Gubernur. Dibantu Dewan Pengupahan Provinsi. Kedengarannya desentralistis, namun rumusnya dinilai masih membelenggu.

Rumus itu menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dari BPS. Lalu ada variabel ‘alfa’, sebuah indeks antara 0,50 sampai 0,90, yang ditentukan Dewan Pengupahan dengan mempertimbangkan keseimbangan kepentingan dan perbandingan upah minimum dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Nah, di sinilah masalahnya. Kritik Sunarno tajam. “Penetapan upah minimum tidak menggunakan dasar KHL terbaru,” tulisnya. Padahal, KHL bukan sekadar variabel. Ia adalah mandat konstitusi, amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang penghidupan yang layak. Tanpa KHL terbaru sebagai dasar, upah minimum di daerah-daerah yang angkanya masih rendah akan sulit mengejar ketertinggalan. Disparitas upah antar daerah bukannya menyempit, malah bisa mengeras.

KASBI punya usulan formula yang visioner. Mereka ingin memangkas kesenjangan dengan cara progresif. Daerah dengan upah buruh di atas Rp 5 juta, kenaikan UMK minimal 10%. Rp 4-5 juta, minimal 20%. Rp 3-4 juta, minimal 30%. Rp 2-3 juta, minimal 40%. “Dengan formulasi seperti itu harapannya ke depan bisa memperkecil disparitas upah buruh Indonesia,” tulisnya. Sebuah mimpi tentang keadilan yang ditawarkan sebagai penawar kebijakan yang timpang.

Masih ada cerita lain yang berliku. Soal Upah Minimum Sektoral (UMSK/UMSP). Secara teori, ia adalah penghargaan bagi buruh di industri berisiko tinggi. Namun dalam praktik, penetapannya sering melalui prosedur panjang, bahkan voting di Dewan Pengupahan.

Komposisi voting itu, 2 (pengusaha) 1 (pemerintah) 1 (pekerja), menjadi titik nadir kekalahan yang terstruktur.


Halaman:

Komentar