“Posisi buruh tidak akan bisa menang,” catat Sunarno dengan getir.
Pengalamannya menunjukkan, posisi pemerintah sering condong ke suara pengusaha. Lebih parah lagi, rekomendasi UMSK dari tingkat kabupaten/kota tidak otomatis jadi penetapan. Ia harus dikonsultasikan lagi ke tingkat provinsi, menambah lapisan birokrasi yang melelahkan. “Polemik kenaikan upah buruh akan selalu menguras energi,” tuturnya.
Energi yang, menurutnya, seharusnya bisa dialihkan untuk hal lebih substantif. Mendorong produktivitas. Menciptakan harmoni industrial yang sesungguhnya.
Maka, di penghujung tanggapannya, Sunarno dan KASBI mengetuk lima poin tuntutan. Sebuah manifesto.
Pertama, tolak PP 49/2025 yang dinilai hanya memperpanjang rezim upah murah. Mereka minta dibentuk Sistem Pengupahan yang adil dan melibatkan serikat buruh.
Kedua, desak pemerintah pakai dasar KHL hasil survei terkini. Dengan formula kenaikan upah minimum wajib sebesar 100% KHL ditambah pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tolak penetapan upah padat karya atau sektor apapun yang nilainya di bawah upah minimum.
Keempat, optimalkan kenaikan upah melebihi angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi untuk persempit kesenjangan.
Kelima, seruan untuk aksi. “Menyerukan kepada seluruh serikat buruh untuk melakukan Aksi Daerah pada agenda sidang-sidang dewan pengupahan untuk penetapan kenaikan upah 2026.”
Hitung mundur tujuh hari itu kini mungkin tinggal hitungan jam. Di ruang sidang dewan pengupahan di berbagai provinsi, perdebatan pasti memanas. Angka inflasi, proyeksi ekonomi, dan pertimbangan “keseimbangan” akan diperdebatkan habis-habisan. Sementara itu, di pabrik-pabrik dan bengkel-bengkel, puluhan juta pasang mata menanti kabar dari meja gubernur.
Sunarno telah melemparkan kritik dan proposalnya. Ia tahu, jalan untuk menyatukan amanat konstitusi tentang “penghidupan yang layak” dengan prosa teknis formula pengupahan masih panjang dan berliku. Tapi hitung mundur singkat itu setidaknya mengingatkan semua pihak. Bahwa di balik setiap variabel ‘alfa’ dan setiap persentase kenaikan, ada cerita nyata tentang sandang, pangan, dan sekolah anak. Cerita yang tak boleh lagi terpotong oleh tenggat waktu yang begitu mepet.
Artikel Terkait
Di Aceh, Malam Tahun Baru Sunyi Terompet, Ramai Doa untuk Korban Bencana
9 Juta Hektar Sawit Ilegal: Negara Dituding Tutup Mata Atas Kebun Tanpa HGU
Kapolri Gebrak Rotasi, Polwan Kuasai Jabatan Strategis
Kapal Maulana 30 Terbakar di Perairan Tanggamus, 8 ABK Masih Hilang