Membongkar Kultur Diam: Ketika Kompromi Melahirkan Ketimpangan

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:50 WIB
Membongkar Kultur Diam: Ketika Kompromi Melahirkan Ketimpangan

Gerakan Sosial Sebagai Respon Terhadap Struktur Kompromistis

Penulis: Saleh Hidayat
(Salah satu pendiri Badan Koordinasi Mahasiswa se-Bandung Raya – Bakor Bandung 1988)

Anggota "Diskusi Reboan" yang difasilitasi Indonesian Democracy Monitoring – InDemo – Jakarta.

Ketimpangan di Indonesia itu, jujur saja, bukanlah sebuah rancangan yang disusun rapi di atas kertas. Ia lebih mirip hasil sampingan, produk dari peristiwa sosial-politik yang berulang dan berlarut. Pola kompromi yang terus-menerus, misalnya, pada akhirnya melahirkan penerimaan terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak adil. Bayangkan seseorang yang hari ini didiamkan saja saat diinjak. Besok, dia diinjak lagi sambil dipukul, dan tetap diam. Diam yang berulang itu lama-lama membentuk sebuah pola represif yang diterima sebagai kenyataan biasa, sebagai normalitas. Dari situlah lahir apa yang bisa disebut kultur given, sebuah kebudayaan yang dianggap sudah sewajarnya ada, tak perlu lagi dipertanyakan. Relasi sosial macam ini jadi sistemik, melekat dalam keseharian.

Di ranah politik, logika yang sering berlaku sederhana sekaligus menyesatkan: yang menang dianggap benar, dan kebenaran haruslah kuat. Skema terbalik ini menegaskan satu hal: untuk menang, syarat utamanya adalah kekuatan. Setelah menang, kekuatan itulah yang kemudian dilegitimasi sebagai kebenaran. Otoritas moral dan etik seringkali cuma jadi bungkus belaka, legitimasi bagi kekuatan yang sudah dominan. Alhasil, kebenaran sosial bukan prinsip universal yang mandiri, melainkan hasil kompromi yang dilegalisasi oleh kekuasaan. Seperti pernah diungkapkan Antonio Gramsci lewat konsep hegemoni kulturalnya, kelas penguasa menyebarkan nilai dan norma mereka hingga jadi semacam "common sense" bagi seluruh masyarakat. Status quo pun terjaga tanpa perlu repot-repot menggunakan kekerasan fisik.

Nah, ketimpangan di sini ternyata tak cuma bersumber dari ekonomi atau politik semata. Ada dimensi kultural yang dalam dan sering luput dari perhatian. Tradisi kompromi sosial melahirkan kebenaran berdasarkan persetujuan yang semu. Ditambah lagi, rendahnya literasi kritis membuat masyarakat cenderung menerima otoritas tanpa perlawanan yang berarti. Pola patronase dan hierarki sosial menormalisasi ketidaksetaraan, seolah-olah itu bagian dari tatanan alam. Semua elemen ini memperkuat apa yang bisa disebut inertia sosial kecenderungan untuk mempertahankan keadaan yang ada, betapapun timpangnya, tanpa ada dorongan untuk perubahan yang signifikan.

Inertia semacam ini melahirkan suasana yang monoton. Tindakan seragam terus berulang, tanpa menyisakan ruang bagi inovasi atau kreativitas. Pola ini makin kukuh dengan hadirnya politik teknokratis dan pendekatan top-down, di mana kebijakan ditetapkan dari atas tanpa partisipasi yang bermakna dari bawah. Politik teknokratis mungkin mengedepankan efisiensi dan prosedur formal, tapi kerap mengabaikan aspirasi serta keragaman kebutuhan riil masyarakat. Akibatnya bisa ditebak: homogenisasi tindakan kolektif, daya kritis yang tumpul, dan jebakan pola yang justru mengukuhkan kekuasaan dominan semakin dalam.

Soal ini, Pierre Bourdieu punya istilah yang relevan: habitus. Dalam Outline of a Theory of Practice (1977), ia mendefinisikan habitus sebagai disposisi yang tertanam dalam tubuh dan pikiran lewat proses sosialisasi panjang. Habitus inilah yang mereproduksi struktur sosial secara tak sadar, menciptakan inertia yang luar biasa karena ketimpangan telah terinternalisasi sebagai sesuatu yang alamiah. Perubahan sosial, menurut Bourdieu, butuh counter-training yang intens dan berkelanjutan untuk membongkar disposisi itu. Sebab, habitus membuat orang merasa "nyaman" dalam posisi timpang mereka, tanpa menyadari mekanisme yang mengurungnya.

Inertia kebudayaan juga tampak dari kecenderungan kita untuk menghindari polemik terbuka. Perbedaan pendapat sering dilihat sebagai ancaman, potensi benturan yang mesti dicegah. Alhasil, ruang perdebatan dibatasi demi menjaga harmoni yang semu. Tradisi berdebat pun diarahkan untuk menjaga kestabilan, bukan membuka ruang kritis yang sejati. Dari sini muncul mekanisme auto-sensor yang mekanistis: individu menahan diri untuk tidak mengungkapkan pandangan berbeda, khawatir dianggap pengganggu stabilitas. Kondisi ini menciptakan kebudayaan tanpa dinamika sejati, yang hanya berputar dalam lingkaran penerimaan pasif.

Fenomena ini mengingatkan pada gambaran Karl Raimund Popper dalam The Open Society and Its Enemies (1945). Ia menyebutnya masyarakat tertutup (closed society), yang tribalistik, irasional, dan elitis. Di sini, perubahan dianggap ancaman. Sebaliknya, Popper mengadvokasi masyarakat terbuka (open society) yang rasional, kritis, dan demokratis di mana kritik dan perdebatan justru menjadi motor perubahan.


Halaman:

Komentar