Yang lebih mencemaskan, Sutiyoso khawatir mereka akan berketurunan di sini. Lama-lama, bisa saja etnis China menjadi mayoritas dan menggeser kaum pribumi. Sebuah skenario yang bagi banyak orang terdengar seperti teori konspirasi, tapi bagi dia adalah risiko nyata yang harus diwaspadai.
Nah, di sisi lain, bagaimana dengan posisi Presiden Prabowo Subianto sekarang? Sebagai mantan jenderal dan menteri pertahanan, dipastikan ia paham betul mekanisme operasi intelijen asing. Ia pasti tahu bahwa masuknya warga negara asing dalam jumlah besar bisa menjadi ujung tombak intervensi.
Ada indikasi kuat bahwa ini bukan sekadar migrasi ekonomi biasa. Menurut analisis beberapa pengamat, ada pola yang terstruktur. Mereka menyebut Ministry of State Security (MSS) atau badan intelijen China punya peran. Targetnya adalah dua komponen inti bangsa: umat Islam dan kerajaan-kerajaan Nusantara. Dua elemen ini dianggap sebagai garda terdepan perlawanan yang bisa menghalangi ambisi China.
Gelombang kedatangan mereka, disebutkan, terjadi dalam tiga tahap. Pertama, tahun 2019-2022, mereka memenuhi area proyek tambang dan infrastruktur. Gelombang kedua (2022-2025) menyebar ke pinggiran kota dan kota besar, mengontrak rumah atau hotel. Gelombang ketiga (2025-2027) diproyeksikan mereka akan memenuhi Nusantara, bahkan menyusup ke lembaga negara sebagai ASN atau anggota Polri karena memiliki dokumen kependudukan yang sah.
Yang jadi perhatian adalah karakter para pendatang ini. Disebutkan, banyak di antaranya berasal dari Bangsa Han, yang dikenal keras dan mayoritas atheis. Bangsa inilah yang diyakini berhasil menguasai Xinjiang, Mongolia, dan Tibet. Mereka dikirim dengan tugas khusus, dan tidak direncanakan pulang.
Mekanisme yang diduga dipakai China mirip pola lama: beri bantuan dan hutang, bangun infrastruktur dengan sistem turn-key project, lalu kirim ‘prajurit’ yang menyamar. Setelah cukup kuat, baru penguasaan dilakukan. Bahkan, ada kekhawatiran tentang race cleansing terhadap pribumi yang melawan.
Yang paling berbahaya, menurut narasi ini, adalah jika infiltrasi sudah menyentuh institusi kunci seperti BIN dan Mabes Polri. Dan tentu, bahaya itu akan berlipat ganda jika Presiden Prabowo Subianto sendiri sudah masuk dalam radar kontrol MSS.
Pada akhirnya, peringatan Prof. Hafidz Abbas layak jadi renungan. Negara yang lalai memperbaiki diri, yang hanya menunggu tanpa antisipasi tepat, bisa membusuk dari dalam. Ancaman disintegrasi bukan lagi omong kosong, tapi sebuah kemungkinan yang harus dihadapi dengan mata terbuka. Tanpa kewaspadaan, kita hanya menunggu keruntuhan itu datang.
20 Desember 2025
Artikel Terkait
Kaki Terjebak Jeruji Besi, Damkar Bogor Selamatkan Ibu di Tepi Jalan
Roy Marten Dikejutkan Tamu Tak Diundang: Ular Sanca 1,5 Meter di Pekarangannya
Kisah Audi: Melawan Stigma dan Biaya demi Kesehatan Mental
PBHI Soroti Celah Hukum Penempatan Polisi Aktif di 17 Lembaga