Bandara Khusus Morowali: Gerbang Privilege yang Memupuk Bom Waktu

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 06:06 WIB
Bandara Khusus Morowali: Gerbang Privilege yang Memupuk Bom Waktu

Debu industri di Morowali itu lengket. Bukan cuma di paru-paru, tapi meresap sampai ke hati para pekerja. Ketidakadilan di sini bukan teori. Ia konkret, berwujud nyata, dan mendarat setiap hari lewat landasan pacu sebuah 'Bandara Khusus'.

Percakapan saya dengan Bang Rendi kali ini terasa lebih berat. Mantan petugas bandara itu kini hidup sunyi. Wajahnya murung. Di tangannya, ponsel menyala menayangkan video kerusuhan lama di sebuah smelter.

"Kamu kira ini cuma salah paham bahasa?" tanyanya, tanpa menunggu jawaban. "Salah. Ini akumulasi. Dan percaya nggak, pemicunya justru berawal dari bandara itu."

Dua Dunia yang Berbeda

Baginya, bandara khusus itu adalah simbol pemisahan yang telanjang.

"Coba bayangkan," Rendi memulai, suaranya rendah.

"Pekerja kita, sebut saja Asep atau Udin, habiskan berjam-jam di kapal laut. Terus naik bus lewat jalan rusak, berdebu. Tidur berdesakan di kosan seadanya. Mereka antre lamaran, tes fisik, tes urin, habis-habisan."

"Sementara itu," nadanya tiba-tek meninggi, "para Tenaga Kerja Asing datang lewat bandara khusus. Disambut bak VIP. Langsung masuk bus ber-AC, dibawa ke mess eksklusif berpagar tinggi. Mereka sama sekali nggak sentuh tanah becek yang diinjak pekerja lokal. Dari sanalah kasta itu terbentuk. Bandara itu gerbang privilege."

Intinya, proses asimilasi terpotong. Para TKA langsung masuk ke 'benteng' perusahaan, minim interaksi dengan kehidupan di luar. Yang tumbuh adalah mentalitas 'kami versus mereka'.

Mimpi Transfer Ilmu yang Melenceng

Alasan resminya sih, TKA dihadirkan untuk Transfer of Knowledge. Asumsinya, para ahli ini akan mengajari pekerja lokal.

"Bulshit," umpat Rendi pelan.

Dia melanjutkan, pengawasan imigrasi di bandara khusus itu longgar. Mungkin sengaja dilonggarkan. "Kita nggak pernah benar-benar tahu kualifikasi mereka. Di kertas tertulis 'Mechanical Engineer', eh di lapangan pegang sekop. Kerja ngangkat barang. Pekerjaan kasar yang mestinya untuk warga lokal, malah diambil."

Nah, di sinilah bara mulai membara. Pekerja lokal melihat orang asing melakukan pekerjaan serupa, skill biasa saja bahkan bahasa Inggris atau Indonesia saja belepotan tapi gajinya bisa 3-4 kali lipat.

"Cemburu itu wajar. Tapi kalau kecemburuan itu dipupuk oleh sistem yang diskriminatif, ya itu undang bencana. Bandara itu memfasilitasi masuknya buruh asing tak terampil yang menyamar, merebut periuk nasi buruh kita."


Halaman:

Komentar