Bandara Khusus Morowali: Gerbang Privilege yang Memupuk Bom Waktu

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 06:06 WIB
Bandara Khusus Morowali: Gerbang Privilege yang Memupuk Bom Waktu

Gelembung Ekonomi yang Mandek

Ada kerugian lain yang sering terlewat: matinya ekonomi mikro. Logikanya, ribuan orang asing datang, warung makan dan tukang ojek seharusnya kebagian rezeki.

Tapi kenyataannya?

Rendi menghela napas. "Bandara khusus itu juga untuk logistik. Sayur, bumbu, rokok, bahkan minuman mereka, sering diterbangkan langsung via kargo. Mereka hidup dalam gelembung. Makan di kantin sendiri. Duit gaji mereka nggak muter di pasar Morowali, tapi langsung ditransfer ke negara asal."

Yang didapat warga lokal? Debu dan limbah. Sementara 'daging' ekonominya berputar di balik pagar tinggi, disuplai dari jalur udara yang tak tersentuh.

Peringatan yang Harus Didengar

Menutup pembicaraan, Rendi memberi peringatan serius.

"Kerusuhan fisik cuma gejala. Akar penyakitnya adalah negara yang membiarkan dirinya tak berdaya. Gesekan kecil di kantin besok senggolan, teriakan bisa jadi pemicu ledakan besar, karena dendam soal gaji dan perlakuan istimewa sudah menumpuk."

Jika bandara ini terus dibiarkan tanpa kendali ketat, beberapa hal mengerikan bisa terjadi. Pertama, konflik horizontal antara pekerja lokal dan asing akan jadi bom waktu. Kedua, soal kriminalitas lintas batas. Tanpa pengawasan, siapa yang jamin nggak ada buronan atau orang berbahaya menyusup jadi 'buruh'? Ketiga, pelecehan profesi. Insinyur lokal lulusan kampus ternama di sini sering harus tunduk pada 'mandor' asing yang kualifikasinya dipertanyakan, cuma karena dia datang dari negara investor.

Menutup Celah

"Lalu solusinya?" tanya saya.

"Hancurkan eksklusivitas itu," tegas Rendi. "Paksa TKA lewat terminal umum sesekali. Biar imigrasi kita periksa dokumen asli, tatap muka, tanya skill mereka. Yang paling penting, samakan standar. Jangan ada 'karpet merah' di bandara khusus kalau untuk pekerja lokal cuma ada 'karpet bara api'."

Bandara Morowali mungkin infrastruktur vital bagi bisnis. Tapi tanpa transparansi dan keadilan, ia cuma monumen ketimpangan yang menunggu waktu meledak.

Dan saat itu terjadi, jangan tanya siapa salahnya. Tanyakan pada mereka yang memberi izin mendarat tanpa bertanya: "Sebenarnya, siapa kamu, dan apa maumu di tanah kami?"


Halaman:

Komentar