Pertama, sebagai mekanisme sterilisasi. Dengan mengonsolidasikan sebagian keuntungan SDA dari dividen BUMN, royalti, atau pajak Dana ini bisa menarik kelebihan likuiditas dari perekonomian domestik. Tekanan pada apresiasi rupiah bisa diredam, daya saing industri non-SDA pun terlindungi.
Kedua, sebagai investor strategis. Dana yang terkumpul diinvestasikan, baik secara global maupun domestik, ke sektor-sektor produktif dan berteknologi tinggi. Dengan begini, Danantara bisa menciptakan pusat gravitasi baru bagi modal dan talenta, mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif.
Ketiga, sebagai pelaksana beheersdaad yang sejati. Konsolidasi kepemilikan negara atas aset strategis memungkinkan pengelolaan kekayaan secara profesional, terintegrasi, dan berorientasi jangka panjang. Ini bukan nasionalisasi, tapi lebih ke orkestrasi pasar untuk tujuan nasional.
Risiko yang Nggak Boleh Diabaikan
Jangan salah, Danantara juga punya risiko besar. Pengalaman global, sebut saja 1MDB di Malaysia, menunjukkan dana kekayaan negara bisa jadi alat politisasi, tidak transparan, dan sarang patronase jika tata kelolanya lemah. Kekhawatiran publik soal konsentrasi kekuasaan ekonomi itu sah adanya.
Tapi risiko ini bukan alasan untuk menolak Danantara. Justru ini alasan untuk mendesain kelembagaannya dengan sangat kuat. Independensi pengelola, akuntabilitas publik, audit yang ketat, serta pembandingan kinerja dengan standar global harus jadi prasyarat mutlak. Agar kita nggak mengulangi kegagalan negara lain.
Pada akhirnya, Dutch Disease bukan takdir. Itu konsekuensi dari pilihan kelembagaan. Indonesia bisa terus mengulang siklus lama: kejar booming, obral izin, lalu terima akibatnya. Atau, kita pilih jalan yang lebih sulit tapi berkelanjutan: membangun institusi yang mampu mengubah kekayaan alam jadi fondasi peradaban ekonomi yang matang.
Dalam pilihan yang kedua inilah Danantara menemukan relevansinya. Bukan cuma sebagai pengelola aset, tapi sebagai upaya negara untuk akhirnya belajar dari sejarahnya sendiri. Semoga.
Kita termasuk negara yang rapuh meski kaya sumber daya. Lembaga keuangan kita belum kuat menahan guncangan harga dari krisis eksternal. Ekonomi kita butuh perlindungan dari fluktuasi harga dan investasi yang manfaatnya bisa dirasakan generasi mendatang.
Banyak negara, maju maupun berkembang, mendirikan sovereign wealth fund (SWF) untuk mengelola surplus pendapatan. Dana semacam ini punya potensi besar untuk membantu negara seperti kita mengelola arus pendapatan dari SDA dan melindungi perekonomian dari volatilitas.
Tapi pemerintah harus hati-hati. Agar berhasil, SWF harus dikelola dengan sangat baik, mengikuti standar internasional, berinvestasi secara bijak, dan tunduk pada kerangka regulasi yang ketat. Nggak semua negara rapuh mampu melakukan ini.
Kebijakan Presiden Prabowo membentuk Danantara adalah langkah untuk mengatasi ini. Dana ini dimaksudkan untuk menghemat pendapatan SDA, mencegah ekonomi kepanasan, menstabilkan jangka panjang, dan mengarahkan dana. Tapi sekali lagi, Danantara yang efektif butuh tata kelola kuat agar nggak jadi korup dan pengeluarannya bijak, bukan malah memperburuk Penyakit Belanda.
Dana Kekayaan Negara (SWF) pada dasarnya adalah dana investasi milik negara untuk mengelola surplus pendapatan, biasanya dari ekspor SDA. Danantara diharapkan dijalankan oleh badan independen dan apolitis yang menentukan arah investasi.
Meski dananya sebagian besar dari mata uang asing, Danantara dikelola terpisah dari cadangan devisa. Dengan menempatkan kelebihan pendapatan ke dalam dana alih-alih membiarkannya membanjiri ekonomi pemerintah berharap bisa mengelola harga pasar dalam jangka panjang. Itu tantangan besar bagi negara kaya SDA seperti Indonesia.
(Pengamat Politik & Ekonomi)
Artikel Terkait
Tiga Jaksa Terjerat Kasus Pemerasan Warga Korea Selatan
Di Tengah Reruntuhan Gaza, 203 Pasangan Rayakan Pernikahan Massal
Wamendagri Soroti Reformasi Birokrasi: Jangan Cuma di Atas Kertas, Harus Sampai ke Rakyat
Kabut Sensor Menyelimuti Bencana Sumatera