Sawah Terkubur, Harapan Petani di Ujung Tanduk

- Kamis, 18 Desember 2025 | 23:06 WIB
Sawah Terkubur, Harapan Petani di Ujung Tanduk

Banjir dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada penghujung 2025 itu benar-benar memilukan. Korban jiwa berjatuhan, rumah-rumah hancur, infrastruktur publik lumpuh total. Itulah gambaran yang langsung mencolok mata. Tapi, ada satu dampak lain yang seringkali tak langsung terlihat, padahal efeknya bakal terasa lama sekali: rusaknya lahan pertanian dan gagalnya panen.

Bagi saya yang sehari-hari bekerja sebagai penyuluh pertanian, kerusakan ini bukan cuma soal teknis belaka. Ini menyangkut urusan perut kita semua ketahanan pangan. Juga tentang masa depan para petani dan stabilitas sosial di daerah yang kena musibah. Bayangkan saja, sawah yang terendam lumpur pekat atau bahkan tertimbun material longsor. Itu artinya sumber penghidupan lenyap, musim tanam terlewat, dan harapan banyak keluarga ikut terkubur.

Lahan Pertanian yang Terluka: Sebuah Realitas Pahit

Angkanya sendiri sudah bicara keras. Sekitar 40.000 hektare lahan sawah di tiga provinsi itu dilaporkan terdampak. Parahnya, hampir seperempatnya sekitar 11.000 hektare mengalami puso atau gagal panen total. Kerugiannya luar biasa besar.

Di Sumatera Utara, misalnya, data per 6 Desember 2025 mencatat kerusakan mencapai 38.878 hektare. Estimasi kerugiannya fantastis: Rp1,132 triliun. Sementara di Aceh, ratusan bahkan ribuan hektare sawah rusak; salah satu laporan menyebut sekitar 530 hektare di beberapa wilayah tak bisa ditanami. Wilayah Tanah Datar dan sekitar Danau Singkarak di Sumatera Barat pun tak kalah parah, diterjang banjir bandang dan longsor yang menghancurkan hamparan hijau mereka.

Di sisi lain, respons pemerintah patut diacungi jempol. Kementerian Pertanian bersama pemerintah daerah bergerak cepat. Bantuan rehabilitasi lahan, penyaluran benih untuk puluhan ribu hektare, serta distribusi ribuan ton pangan sudah dilakukan. Itu langkah awal yang krusial. Namun, dari pengalaman di lapangan, pemulihan pasca bencana seperti ini tidak boleh berhenti di bantuan darurat saja. Jalan masih panjang.

Menyelamatkan Musim Tanam: Aksi Nyata yang Dibutuhkan Sekarang

Lalu, apa yang harus segera dilakukan? Pertama, kita butuh penilaian kerusakan yang detail dan melibatkan petani. Penyuluh, petani, dan aparat desa harus turun bersama. Mereka perlu memetakan, apakah lahannya cuma tertutup lumpur tipis, atau malah dipenuhi pasir tebal dan material kayu-batu dari longsoran. Pendekatan partisipatif semacam ini penting biar bantuan nggak salah sasaran.

Kedua, soal pembersihan lahan. Di banyak titik di Sumatera Utara, tantangannya berat sekali. Bukan cuma lumpur, tapi kayu gelondongan dari hulu yang berserakan menutupi sawah dan menyumbat saluran air. Pekerjaan ini jelas butuh alat berat dan koordinasi lintas sektor. Mustahil dibebankan ke pundak petani yang sudah kelelahan.

Ketiga, penyesuaian pola tanam. Untuk lahan yang masih bisa diselamatkan, perlu dipilih varietas padi yang adaptif, umurnya genjah, dan tahan dengan kondisi tanah pasca banjir. Di sinilah peran penyuluh jadi kunci memberi rekomendasi yang realistis, bukan sekadar mengejar target tanam dari atas.


Halaman:

Komentar