OLEH: ARIEF POYUONO
Sudah jadi rahasia umum, Indonesia itu negeri yang dikaruniai segalanya. Lihat saja sejarahnya. Dulu rempah-rempah yang bikin bangsa Eropa rela berlayar jauh. Lalu ada minyak, gas, batu bara. Kini, giliran nikel yang disebut-sebut sebagai 'emas putih' dan jadi rebutan global. Kekayaan alam seolah menjadi janji kemakmuran yang tak pernah habis.
Tapi janji itu kerap tinggal janji. Realitanya? Setiap kali ada booming komoditas, euforia yang muncul cuma sesaat. Setelah itu, yang tertinggal adalah ekonomi yang rapuh dan ketergantungan yang dalam. Pola ini berulang terus. Boom datang, lalu pergi, meninggalkan kita dalam kerentanan. Seolah kita hanya jago mengeksploitasi, tapi gagap total soal mengelola untuk jangka panjang.
Nah, di balik siklus yang melelahkan ini, ada sebuah penyakit ekonomi klasik yang mengintai. Namanya "Dutch Disease" atau Penyakit Belanda. Perdebatan soal hilirisasi, banjir izin tambang, atau euforia nikel saat ini, sejatinya adalah bagian dari cerita besar ini. Kalau akar masalahnya struktural, ya solusinya nggak bisa cuma teknis belaka.
Ketika Rezeki Nomplok Justru Jadi Bumerang
Dutch Disease itu paradoks. Istilah ini muncul dari pengalaman Belanda di tahun 60-an. Mereka menemukan cadangan gas alam besar-besaran, tapi alih-alih makmur merata, ekonomi malah kacau. Devisa yang masuk deras bikin nilai mata uang mereka menguat. Imbasnya, sektor industri dan manufaktur lain jadi kalah bersaing karena barang ekspornya jadi terlalu mahal. Impor malah membanjir. Uang dan tenaga kerja pun ramai-ramai pindah ke sektor ekstraktif yang sedang 'panas'.
Ujung-ujungnya, ekonomi jadi timpang dan rapuh. Begitu harga komoditas anjlok, negara itu langsung limbung. Lihat saja Nigeria atau Venezuela. Kekayaan alam yang melimpah, tanpa pengelolaan yang bagus, malah jadi kutukan.
Indonesia nggak kebal. Memang, kontribusi sektor tambang ke PDB dan lapangan kerja secara angka mungkin terbatas. Tapi pengaruhnya secara politik-ekonomi itu luar biasa besar. Setiap kali harga komoditas naik, hampir semua perhatian dan kebijakan ikut tersedot ke sana. Jadi, Dutch Disease di sini bukan soal niat jahat, tapi lebih ke konsekuensi logis dari sistem kelembagaan kita yang nggak siap mengelola kekayaan yang tiba-tiba melimpah.
Pasal 33 dan Negara yang Cuma Jadi 'Makelar Izin'
Ini yang ironis. Kita punya konstitusi yang progresif, lho. Pasal 33 UUD 1945 jelas bilang bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi dalam prakteknya, makna 'dikuasai' itu sering banget direduksi cuma jadi urusan perizinan dan bagi-bagi rente.
Mahkamah Konstitusi sudah beberapa kali menegaskan. Penguasaan negara itu bukan cuma hak (rechtstitel), tapi harus berupa tindakan aktif (beheersdaad) untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi. Sayangnya, arah kebijakan kita kerap menjauh dari semangat ini.
Ambil contoh UU 2/2025 tentang perubahan UU Minerba dan turunannya seperti PP 39/2025. Tujuannya menyederhanakan perizinan. Tapi ada risiko besar: negara makin kuat sebagai 'broker izin'. Padahal, peran negara harusnya lebih dari sekadar mempermudah eksploitasi. Ia harus bisa mengorkestrasi pengelolaan yang strategis. Karena nggak begitu, jadinya pengelolaan SDA terfragmentasi, dikuasai kepentingan pemegang izin, dan terjebak dalam eksploitasi cepat. Inilah lahan subur bagi Dutch Disease.
Negara yang Kebanyakan Aturan, tapi Minim Kendali
Masalah utama kita sebenarnya bukan kurang regulasi. Justru kebanyakan! Yang hilang itu instrumen pengendali yang strategis. Nggak ada lembaga yang dirancang khusus untuk menahan keuntungan besar (windfall income) agar nggak membanjiri ekonomi, mengatur ritme eksploitasi buat anak cucu, dan mengubah kekayaan alam yang terbatas jadi modal produktif yang berkelanjutan.
Bandingkan dengan Norwegia atau Botswana. Kunci sukses mereka ada di institusi pengelolanya. Government Pension Fund Global (GPFG) Norwegia itu contoh bagus. Dana itu berfungsi sebagai penyimpan dan pengarah kekayaan, memisahkan urusan SDA dari hiruk-pikuk politik jangka pendek. Kita? Hampir nggak punya instrumen serupa. APBN jadi satu-satunya wadah, yang gampang meluap saat boom dan cepat kering saat harga jatuh.
Di sinilah sebenarnya signifikansi Danantara. Ia bukan cuma sekadar sovereign wealth fund atau superholding BUMN. Idealnya, Danantara bisa jadi penangkal struktural untuk Dutch Disease, dengan tiga fungsi kunci.
Artikel Terkait
Tiga Jaksa Terjerat Kasus Pemerasan Warga Korea Selatan
Di Tengah Reruntuhan Gaza, 203 Pasangan Rayakan Pernikahan Massal
Wamendagri Soroti Reformasi Birokrasi: Jangan Cuma di Atas Kertas, Harus Sampai ke Rakyat
Kabut Sensor Menyelimuti Bencana Sumatera