Di sisi lain, dia juga menyinggung soal motif di balik isu "sandera" itu. Katanya, banyak elit politik sengaja memainkan isu itu untuk membangun simpati. Seolah-olah Prabowo itu korban, terjebak dalam bayang-bayang kekuasaan Jokowi yang masih kuat. Padahal, relasi mereka jauh lebih dalam dan strategis dari yang dibayangkan.
Ucapannya ini makin menguatkan anggapan bahwa pemerintahan Prabowo akan melanjutkan saja pola yang sudah dibangun. Gaya kepemimpinan, model pengambilan keputusan, semuanya kemungkinan besar tak jauh beda dengan apa yang dijalankan Jokowi selama sepuluh tahun terakhir. Intinya, pergantian presiden belum tentu berarti pergantian arah angin.
Reaksi publik pun beragam. Ada yang bilang pernyataan Radjasa ini berani, membongkar mitos politik yang selama ini dijual bebas. Tapi tak sedikit yang justru melihatnya sebagai alarm. Jangan-jangan, perubahan yang dijanjikan selama kampanye cuma perubahan kosmetik belaka. Hiasan luar saja.
Sampai detik ini, belum ada tanggapan resmi dari Istana atau lingkaran dalam Prabowo soal pernyataan sang mantan intel ini. Tapi yang jelas, perdebatan tentang siapa yang sesungguhnya mengendalikan kemudi kekuasaan nasional kembali memanas. Ruang publik pun kembali riuh.
Artikel Terkait
Prabowo Lantik Enam Dubes Baru, Nirmala Sjahrir Dipercaya untuk Jepang
Demokrasi di Ujung Tanduk: Kembalinya Siklus Korupsi Kepala Daerah
Sumatera Terkoyak, Status Bencana Nasional Masih Dipertanyakan
Megawati Geram: Sirine Damkar Ngoang-ngoeng, tapi Bantuan Lambat Tiba