Sebenarnya, menolak bantuan luar itu sah-sah saja. Asalkan, kemampuan diri sendiri sudah mumpuni. Kesombongan baru boleh ada kalau diimbangi kapasitas. Sayangnya, realitanya jauh dari itu.
Kinerja pemerintah sekarang? Bisa dibilang, sudah tak becus, sombong lagi. Lihat saja di lapangan. Banyak korban yang hingga kini masih kesulitan dapat makan, apalagi listrik. Laporan dari tanah bencana sungguh memilukan.
Seorang jurnalis CNN bahkan dilaporkan menangis terisak saat melaporkan kondisi mereka. Korban bergantung pada relawan hanya untuk bertahan hidup. Ancaman kelaparan mengintai pasca banjir bandang menerjang.
Nah, ini yang menarik. Banyak yang menduga, kekhawatiran menetapkan status bencana nasional bisa memicu audit menyeluruh soal penyebab banjir. Dan semua orang tahu, akar masalahnya adalah deforestasi.
Penggundulan hutan terjadi secara brutal, didorong oleh izin HPH dan konversi lahan untuk industri sawit yang tak terkendali. Kalau audit benar-benar digelar, bisa-bisa oligarki sawit jadi kelabakan. Kabarnya, di Aceh pun Prabowo punya kepentingan di bisnis sawit. Apakah ini yang membuatnya enggan bertindak?
Pada akhirnya, seluruh penderitaan rakyat Sumatera ini bukan semata bencana alam. Ini adalah buah dari bencana politik pengelolaan sumber daya. Izin-izin yang diberikan ugal-ugalan untuk sawit dan tambang telah menggerus pertahanan alam.
Dan bencana lanjutan, yaitu kelaparan yang melanda korban, juga tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah. Sebuah kebijakan dari mereka yang sebenarnya tak punya kemampuan, tetapi memilih untuk bersikap sombong dengan menolak bantuan. (")
Artikel Terkait
KHL: Tolok Ukur Baru untuk Upah yang Manusiawi di Indonesia
KPK Amankan Jaksa dan Bupati dalam Rentetan OTT Satu Hari
Semeru Muntahkan Abu Ribuan Meter, Warga Diimbau Jauhi Sektor Tenggara
Bibit Siklon Tropis 93S Mengancam, Hujan Lebat dan Ombak Tinggi Bakal Hantam Jawa