Ia membungkam stafsus itu dengan keras, menyatakan rakyat Aceh akan jadi mayat jika harus menunggu janji ratusan helikopter di tahun depan.
Murthala meminta Presiden untuk jernih menerima informasi. Dan yang mungkin lebih menyakitkan bagi pusat, ia tegas menyatakan bahwa titah Presiden yang katanya sudah turun sama sekali tidak terasa dampaknya di lapangan.
Semua ini disampaikannya tepat di depan hidung Jakarta. Seketika, ia membatalkan laporan-laporan "baik-baik saja" yang selama ini meninabobokan kekuasaan. Pasti ia sadar, harga kejujuran semacam ini mahal: bisa kehilangan jabatan, disingkirkan, atau jadi bulan-bulanan faksi-faksi jahat di dalam kekuasaan.
Di tengah bencana ini, Murthala tidak sedang berbicara sebagai juru bicara posko. Ia berdiri di sisi rakyat yang kehilangan rumah, akses, dan kepastian hidup. Suaranya adalah gema dari jeritan mereka yang terkurung air dan lumpur, terkatung antara hidup dan mati. Ia memilih menyampaikan apa yang benar-benar terjadi, tanpa hiasan, tanpa kosmetik kata-kata. Dalam situasi seperti ini, kejujuran bukanlah sikap heroik. Itu cuma bentuk paling sederhana dari keberpihakan pada kemanusiaan.
Orang-orang seperti ini, terlepas dari kekurangan atau pandangan politiknya, jika sudah tegak di jalan kemanusiaan, jangan dibiarkan berdiri sendirian.
Tabik!
(Miswar Ibrahim Njong)
Artikel Terkait
Dana Danantara: Antara Penangkal Penyakit Belanda dan Jerat Baru bagi Ekonomi Indonesia
KPK Amankan Jaksa Diduga Pemerang WN Korea dalam OTT Banten
Krisis Adab Pejabat: Ketika Ijazah Tinggi Tak Berbanding Lurus dengan Etika
Kapolri: Air Bersih Jadi Prioritas Utama untuk Korban Bencana Aceh dan Sumatera