Selat Hormuz: Ketika Jalur Minyak Global Dijadikan Panggung Krisis Abadi

- Kamis, 18 Desember 2025 | 11:00 WIB
Selat Hormuz: Ketika Jalur Minyak Global Dijadikan Panggung Krisis Abadi

Akibatnya, sekuritisasi ini menormalisasi kehadiran militer asing di Timur Tengah. Armada Amerika Serikat dan sekutunya diposisikan sebagai "penjaga stabilitas". Sementara Iran, hampir selalu, tampil sebagai biang ketidakpastian. Narasi hitam-putih ini menciptakan dikotomi yang kaku: siapa pelindung, dan siapa pengacau.

Namun begitu, dari kacamata critical security studies, konsep keamanan itu tak pernah benar-benar netral. Ia selalu pilih kasih. Keamanan pasokan energi global sering diutamakan, sementara keamanan manusia yang hidup di kawasan sekitarnya terabaikan. Ketegangan yang sengaja dipelihara justru memperpanjang siklus konflik dan mematikan ruang untuk dialog damai.

Pada dasarnya, Selat Hormuz adalah contoh nyata bagaimana sumber daya alam minyak dan gas mengubah sebuah lokasi geografis jadi alat politik global. Perebutannya bukan cuma soal lokasi strategis, tapi juga soal makna. Di sini, kepentingan ekonomi, militer, dan simbolik saling bertemu.

Iran, misalnya, kerap menggunakan selat ini sebagai kartu tawar-menawar menghadapi sanksi internasional. Sebaliknya, negara-negara Barat memanfaatkan narasi ancaman untuk membenarkan keterlibatan militer jangka panjang mereka. Dalam dinamika seperti ini, Selat Hormuz bukan cuma "dipertahankan", melainkan secara aktif terus diproduksi sebagai ruang krisis abadi.

Jadi, kita perlu melihat lebih jeli. Selat Hormuz bukan cuma checkpoint strategis di peta; ia adalah cermin dari politik keamanan global kita. Sekuritisasi mungkin menjanjikan stabilitas, tapi konsekuensinya berat: militerisasi permanen, ketergantungan pada logika kekuatan, dan mengaburkannya jalan damai.

Pertanyaan utamanya sekarang sudah bergeser. Bukan lagi soal penting-tidaknya Selat Hormuz itu sudah jelas. Tapi, keamanan versi siapa yang sebenarnya kita jaga? Dan, siapa yang harus hidup terus dalam bayang-bayang krisis yang tak pernah usai?


Halaman:

Komentar