Bayangkan sebuah jalur air sempit yang setiap hari dilalui kapal-kapal pengangkut minyak senilai miliaran dolar. Itulah Selat Hormuz, dan tak berlebihan jika disebut sebagai urat nadi energi dunia. Faktanya, seperlima minyak bumi global mengalir lewat sini. Tapi ceritanya tak sesederhana itu.
Yang menarik, selat ini lebih sering digambarkan sebagai zona bahaya ketimbang sekadar jalur pelayaran. Ia terus-menerus diproduksi sebagai ruang ancaman. Di sinilah politik keamanan atau tepatnya, sekuritisasi bekerja.
Ambil contoh narasi resmi dari Washington, Riyadh, atau Tehran. Bagi mereka, Selat Hormuz jarang sekali netral. Ia selalu jadi simbol bahaya: ancaman buat stabilitas energi, kebebasan kapal berlayar, bahkan keamanan internasional. Pertanyaan mendasarnya jadi lain: siapa sebenarnya yang mendefinisikan ancaman itu, dan untuk kepentingan siapa?
Menurut Teori Sekuritisasi ala Copenhagen School, isu Selat Hormuz sengaja "diangkat" dari urusan ekonomi biasa ke ranah keamanan yang genting. Ancaman terhadapnya dibangun sedemikian rupa hingga dianggap mengancam eksistensi negara dan tatanan global.
Dan begitu sebuah isu berhasil disekuritisasi, tindakan luar biasa pun jadi bisa diterima. Pengerahan militer besar-besaran, patroli laut multinasional, bahkan legitimasi untuk menggunakan kekuatan semuanya mendapat pembenaran.
Di titik ini, pidato pejabat, pernyataan jenderal, dan pemberitaan media berperan sebagai speech act yang ampuh. Wacana penutupan Selat Hormuz meski jarang benar-benar terjadi cukup untuk menciptakan rasa krisis yang terus-menerus. Ancaman menjadi efektif bukan karena ia nyata, tapi karena terus diulang.
Artikel Terkait
Menguak Dua Wajah Hukum: Ketika Hakim Berburu Fakta di Balik Bukti
Jejak Panjang Gus Yahya dan Koneksi Global yang Mengoyak PBNU
Mencari Rumah di Dalam Diri: Saat Hidup Bukan Lagi Perlombaan
Krisis Jiwa di Barisan: 61 Prajurit Israel Tewas Bunuh Diri Sejak Perang Gaza