Mengapa Negara Tak Berani Menyebutnya Bencana Nasional?
✍🏻 Peter F. Gontha (Eks Dubes RI di Polandia)
Wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat porak-poranda. Bencana besar. Korban jiwa berjatuhan, pemandangan kehancuran di mana-mana. Tapi, ada yang janggal. Pemerintah pusat seolah enggan, atau mungkin takut, untuk menyematkan status 'bencana nasional' pada tragedi ini. Kenapa?
Jawabannya, kalau kita dengar dari obrolan di ruang publik, ternyata sederhana sekaligus kompleks. Begitu status itu resmi, pintu akan terbuka lebar. Dunia internasional bakal masuk. Bukan cuma bantuan, tapi juga perhatian global: wartawan asing, lembaga-lembaga donor, relawan internasional. Mereka semua akan melihat langsung kondisi di lapangan.
Dan itu yang mungkin ditakuti.
Dari situ, pertanyaan kritis pun mengemuka. Apakah ini murni murka alam? Atau justru buah dari kesalahan bertahun-tahun? Izin-izin yang mudah dikeluarkan, hutan yang gundul, gunung yang dikeruk habis, aliran sungai yang dirusak semua itu terjadi lintas rezim, bukan cuma sehari dua hari.
Nama-nama besar pun mulai disebut. Bukan rakyat biasa. Bukan petani kecil. Tapi mereka yang punya kuasa memberi izin dan tentu saja, menikmati keuntungannya.
Maka, wajar jika status bencana nasional ditahan-tahan. Ada yang ingin dilindungi.
Artikel Terkait
Jembatan Gantung 150 Meter Dibangun di Pidie Jaya, Jawab Isolasi Pascabencana
Jumhur Hidayat Kagumi Harmoni Buruh-Manajemen di Kebun Sawit Cargill
Sanur Kauh Galang 200 Teba Modern, Solusi Darurat Usai TPA Suwung Ditutup
Presiden Prabowo Turun Langsung Tinjau Perbaikan Jalan Rusak di Lembah Anai