Untuk menganalisisnya, kita bisa pakai pendekatan feminist audit ala Christina Enloe, dengan sedikit pengembangan. Enloe berargumen, kebijakan yang mengabaikan nilai keadilan dan feminisme cenderung akan diskriminatif. Pendekatan ini bertujuan mengevaluasi kebijakan yang terlalu man oriented.
Enloe sering mengaitkannya dengan isu militer, seperti kepemilikan senjata. Tapi sebenarnya, feminist audit bisa jadi pisau analisis yang tajam untuk berbagai kebijakan penguasa. Ini karena dikotomi "laki-laki pelindung" dan "perempuan yang dilindungi" sudah dinormalisasi dalam narasi sosial. Normalisasi inilah yang sering menyelubungi bias gender dan nilai patriarki.
Karena itu, mengevaluasi kebijakan satu, dua, atau tiga anak di Tiongkok dengan kacamata feminis adalah upaya melawan dominasi maskulinitas dalam kebijakan. Kebijakan yang memberatkan perempuan itu jelas diinisiasi nilai maskulin yang dominan di kalangan pemimpin. Sisi feminisme pun terabaikan.
Dalam krisis apa pun, perempuan sering jadi pihak paling dirugikan. Padahal, dalam persoalan kelahiran anak, merekalah yang berproses langsung. Seharusnya, perempuan punya kebebasan menentukan pilihan hidupnya. Mau menikah atau tidak, punya anak atau tidak, itu ranah privat mereka. Normalisasi kebijakan jumlah anak oleh pemerintah Tiongkok justru bentuk diskriminasi yang sistematis.
Kebijakan-kebijakan ini terus menerus menempatkan perempuan di posisi rugi. Istilah "perempuan sisa" adalah buahnya, sebuah kekerasan kultural dan struktural yang diciptakan negara dan dilanggengkan masyarakat. Perempuan, yang memegang peran biologis utama dalam kelahiran, justru diramah kuasanya atas tubuh dan hidupnya sendiri.
Dulu, saat aturan satu anak berlaku, perempuan dipaksa puas dengan satu anak. Seringkali dipaksa aborsi dengan segala risiko kesehatannya. Kini dengan aturan dua atau tiga anak, posisi mereka tak jauh beda. Hanya dianggap mesin pencetak generasi.
Yang perlu dievaluasi bukan cuma kebijakan jumlah anak. Tapi seluruh kebijakan pemerintah yang timpang akibat relasi kuasa yang tidak setara. Relasi kuasa ini sebenarnya dekat dengan kita sehari-hari. Kita terkungkung normalisasi bahwa perempuan makhluk lemah yang harus dilindungi anggapan yang sering bias dan disalahgunakan. Pertanyaannya, dilindungi menurut siapa? Dan seperti apa bentuk perlindungannya? Apakah sama untuk setiap perempuan?
Refleksi kita hari ini harus lebih dari sekadar menghadirkan perempuan dalam kebijakan. Tapi menghadirkan mereka dalam diskusi pengambilan keputusan adalah keharusan. Menempatkan perempuan di posisi pengambil kebijakan, tanpa membatasi ruang gerak politik mereka, juga mutlak diperlukan. Memasukkan perempuan hanya untuk memenuhi kuota kursi tertentu adalah bentuk diskriminasi baru. Mereka dapat kursi, tapi tak dapat ruang yang setara dan adil.
Jalan untuk mengevaluasi kebijakan diskriminatif ini masih panjang. Perjuangan ini bukan cuma untuk perempuan, tapi untuk semua golongan. Perempuan harus punya kesempatan sama di ranah politik, demi membawa keadilan, bukan sekadar keterwakilan. Poin paling krusial dari semua ini adalah menyadari satu hal: kehidupan kita sekarang adalah hasil keputusan politik di masa lalu.
Begitu pula kondisi di masa depan, ia akan ditentukan oleh pilihan politik yang kita buat hari ini. Sudah seharusnya kita lebih peduli pada nasib generasi mendatang. Dan itu dimulai dengan kepekaan pada kondisi politik sekarang. Seperti mewariskan sesuatu, jangan tinggalkan warisan buruk yang menyengsarakan anak cucu kita nanti.
Artikel Terkait
Crane Jadi Pahlawan Darurat, Listrik Sumatera-Aceh Kembali Mengalir
Mendagri Tito Karnavian Belum Paham Isyarat Bendera Putih di Aceh
Dari Tukang Sampah Jadi Miliarder, Kembali ke Truk Sampah dalam 8 Tahun
Kapal Tanker Rusia Dibakar Drone Ukraina, Korban Jiwa dan Kebakaran Meluas