Sejarah Bukan untuk Dihafal, Tapi untuk Dipahami: Mengapa Pendekatan Kritis Lebih Bermakna

- Selasa, 16 Desember 2025 | 21:06 WIB
Sejarah Bukan untuk Dihafal, Tapi untuk Dipahami: Mengapa Pendekatan Kritis Lebih Bermakna

Sudah jadi rahasia umum, pelajaran sejarah kerap dianggap membosankan. Bayangan kita langsung tertuju pada deretan tanggal, nama-nama tokoh, dan urutan peristiwa yang harus dijejalkan ke kepala. Pola hafalan seperti ini masih sangat kuat di sekolah-sekolah kita, dari SD sampai SMA. Alhasil, banyak yang bertanya-tanya, apa relevansinya dengan hidup kita sekarang?

Padahal, kalau kita lihat lebih dalam, sejarah sebenarnya bukan soal menghafal. Ia adalah ilmu yang menuntut analisis dan penalaran kritis. Menurut sejumlah ahli, intinya justru terletak pada pemahaman konteks dan kemampuan menafsirkan. Tanpa itu, sejarah kehilangan nyawanya. Fungsi utamanya sebagai alat untuk memahami perubahan sosial pun jadi tumpul.

Nah, dalam kajian modern, sejarah yang baik tidak cuma menjawab "apa yang terjadi". Lebih dari itu, ia berusaha menjawab "mengapa" dan "bagaimana" sebuah peristiwa bisa berlangsung. Pendekatan hafalan hanya menjadikan siswa sebagai konsumen pasif dari satu narasi. Mereka tidak diajak untuk berpikir, hanya disuapi cerita. Risikonya jelas: pemahaman yang dangkal dan mudah sekali terpengaruh oleh informasi yang simpang siur.

Di sisi lain, pendekatan kritis menempatkan siswa sebagai subjek. Mereka diajak langsung menganalisis sumber, baik primer maupun sekunder, membandingkan sudut pandang yang berbeda, dan melihat benang merah antara masa lalu dan sekarang.

Ambil contoh saat mempelajari revolusi kemerdekaan. Alih-alih sekadar menghafal kronologi 1945, siswa diajak menggali dinamika sosial-politik saat itu. Mereka bisa menelisik peran kelompok masyarakat lokal yang mungkin terlupakan dalam cerita besar nasional. Jadi, sejarahnya jadi hidup, penuh warna, dan jauh lebih manusiawi.


Halaman:

Komentar