Yang tak kalah penting, pendekatan ini membantu membangun kesadaran sejarah. Kesadaran bahwa kebijakan hari ini, konflik, atau perubahan sosial yang kita rasakan, punya akar yang dalam di masa lalu. Untuk Indonesia yang majemuk, pemahaman kritis semacam ini bisa jadi penangkal. Ia mencegah polarisasi dan klaim-klaim kebenaran tunggal yang kerap memecah belah di ruang publik.
Memang, menerapkannya tidak gampang. Tantangannya nyata: kurikulum yang sudah padat, waktu yang terbatas, dan belum semua guru mendapatkan pelatihan yang memadai. Namun begitu, bukan berarti mustahil.
Beberapa penelitian menunjukkan, metode seperti diskusi berbasis sumber, mengangkat studi kasus sejarah lokal, atau memanfaatkan arsip digital ternyata bisa meningkatkan minat dan daya kritis siswa. Semua itu bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan target kurikulum yang ada.
Pada akhirnya, ukuran keberhasilan pembelajaran sejarah bukan terletak pada banyaknya fakta yang diingat. Melainkan pada kemampuan siswa untuk memahami proses, menarik makna, dan bersikap reflektif terhadap realitas di sekitarnya. Dengan menjadikan sejarah sebagai ruang dialog yang kritis antara masa lalu dan masa kini, kita mengembalikan peran esensialnya: membentuk warga negara yang tidak hanya sadar, tapi juga rasional dan bertanggung jawab.
Artikel Terkait
GMNI Pecat Kader karena Ujaran Rasis Terhadap Suku Sunda
Membedah Kesalahan: Mengkritik Penguasa Bukanlah Ghibah
Di Tengah Bencana, Jakarta Tegas Tolak Bantuan Asing, Aceh Berteriak Minta Tolong
Duka di Kampus Elit: Fisikawan MIT Tewas Ditembak di Apartemen Brookline