Pagi di SPPG Mutiara Keraton Solo, Tamansari, Bogor, dimulai dengan ritme yang teratur. Deretan wadah makanan ompreng berjejer rapi di lantai dasar, menunggu untuk diisi. Suasana hening, tapi sarat energi.
Sebelum memasuki area produksi, ada protokol ketat. Semua orang wajib pakai sarung tangan, masker, dan penutup rambut. Baru setelah itu, kita bisa menyusuri ruang demi ruang di lantai ini.
Ruang produksi basah, area pemilahan sampah plastik dan kertas, semuanya tertata fungsional. Tata letaknya dirancang untuk mendukung kerja sebuah dapur berskala besar, di mana efisiensi dan kebersihan adalah hal utama.
Menu hari Selasa (16/12) itu sederhana: nasi, sayur tauge, lele goreng, tempe, dan susu. Tapi rasanya akrab di lidah. Di ruang pemorsian, para pekerja dengan cekatan membagi makanan ke dalam ompreng. Mereka memastikan porsi dan susunannya pas. Aktivitas berlangsung cepat dan hampir tanpa suara, mengejar waktu agar distribusi ke sekolah tidak terlambat.
Dapur ini dikelola Jimmy Hantu Foundation, sebuah lembaga yang bergerak di bidang pertanian dan sosial. Prinsip mereka jelas: mengutamakan bahan baku lokal. Hal ini bukan sekadar slogan, tapi benar-benar diterapkan.
Pengelolanya, Sujimin yang lebih dikenal sebagai Jimmy Hantu menegaskan komitmen itu.
Menurut Jimmy, program Makan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya punya dampak yang lebih luas. Bukan cuma berhenti di dapur, tapi harus menyentuh rantai pasok dan menguntungkan petani lokal.
Dampaknya ternyata sudah mulai terasa. Beberapa komoditas yang dulu kurang laku, sekarang punya nilai ekonomi karena masuk ke rantai pasok MBG.
Bahkan kebiasaan warga sekitar berubah. Skalanya mungkin masih kecil, tapi ada geliat.
Artikel Terkait
Kecelakaan Maut di Rel Cakung, Bocah 10 Tahun Tewas Tertabrak Kereta
Murid SD Muhammadiyah Kauman Angkat Isu Bencana dan Keteladanan Lewat Pentas Viral
Lima Kios di Kalideres Hangus Diterjang Si Jago Merah
Tiga ABK Masih Hilang, Pencarian Intensif Dilanjutkan di Laut Jawa