Kekuatan Global Turut Bermain
Konflik ini makin rumit karena melibatkan kekuatan dari luar kawasan. Amerika Serikat, misalnya, mendukung Saudi lewat penjualan senjata, bantuan intelijen, dan dukungan diplomatik. Dukungan ini memperkuat keyakinan Riyadh untuk terus menekan Houthi secara militer. Sebaliknya, Iran memanfaatkan rivalitasnya dengan AS untuk menguatkan narasi perlawanan di kawasan. Ketegangan AS-Iran, dari isu nuklir sampai sanksi ekonomi, meresap ke dalam dinamika perang Yaman, mengubah aktor lokal menjadi pion dalam kompetisi geopolitik yang jauh lebih luas.
Meski Saudi dan Iran sempat berjabat tangan dan menyepakati pemulihan hubungan di tahun 2023, situasi di Yaman tetap sulit distabilkan. Logika geopolitik di balik proxy war ini nyatanya belum berubah. Saudi masih memandang Houthi sebagai ancaman keamanan langsung. Sementara itu, Iran melihat ketahanan Houthi sebagai aset strategis yang meningkatkan daya tawarnya. Di lapangan, Houthi kini lebih percaya diri, baik secara politik maupun militer. Pemerintah Yaman yang diakui internasional justru terpecah dan lemah. Kesenjangan inilah yang membuat upaya diplomasi regional sulit diterjemahkan menjadi perdamaian yang nyata bagi warga Yaman.
Dan rakyat Yamanlah yang menanggung beban terberat. Mereka terjebak dalam salah satu krisis kemanusiaan terparah di dunia: kelaparan, ekonomi yang runtuh, dan jutaan pengungsi. Sayangnya, penderitaan mereka seringkali tenggelam oleh narasi besar soal pengaruh, kekuasaan, dan strategi. Bagi Saudi dan Iran, Yaman adalah panggung duel. Bagi kekuatan global, ini soal stabilitas energi dan keamanan kawasan. Kesenjangan antara realitas lokal yang pahit dan ambisi geopolitik inilah yang membuat perang ini seolah tak ada ujungnya.
Adakah Jalan Keluar?
Masa depan Yaman pada akhirnya bergantung pada kesadaran para aktor regional dan internasional. Mereka harus menyadari batas-batas dari proxy war dan bahaya instabilitas berkepanjangan. Rivalitas Saudi-Iran mungkin tak akan hilang, tapi bentuknya bisa berubah jika diplomasi menjadi lebih pragmatis. Namun bagi Yaman, luka perang sudah terpatri dalam di setiap sendi kehidupan politik dan sosialnya. Selama negeri ini masih jadi medan pertarungan bagi kepentingan kekuatan besar, perdamaian akan tetap menjadi mimpi yang jauh. Semuanya baru mungkin terwujud jika nanti muncul titik keseimbangan baru dalam dinamika kekuasaan di Timur Tengah.
Artikel Terkait
Pernyataan Prabowo Soal Bencana Picut Badai Kritik: Ini Nyawa, Bukan Angka Statistik
Menjaga Iman di Tengah Kemeriahan: Antara Toleransi dan Tasyabbuh
Didu: Oligarki Penguasa Sejati, Ancaman Bubarnya Indonesia Makin Nyata
Prabowo Bentuk Komite Khusus untuk Pacu Pembangunan Papua