Kalau kita tilik sejarah, kritik terhadap kekuasaan di Indonesia punya caranya sendiri. Tidak melulu lewat pernyataan politik yang blak-blakan. Di pesantren, misalnya, kritik justru lebih sering muncul dalam bentuk yang halus. Simbolik. Lewat puisi, isyarat bahasa, atau ungkapan singkat yang butuh perenungan mendalam untuk bisa ditangkap maknanya.
Ini bukan sekadar tradisi budaya belaka. Menurut saya, pola seperti ini adalah bagian dari etika para ulama. Sebuah cara untuk menjaga keutuhan jamaah ḥifẓ al-jamā‘ah sambil tetap menegur penyimpangan yang terjadi. Semuanya dilakukan tanpa perlu merobek-robek tatanan yang sudah dibangun bersama.
Nah, tulisan ini coba membaca ulang hal itu. Saya ingin melihatnya dari kacamata reflektif, lebih analitis. Fokusnya bukan untuk menyoroti konflik personal di tubuh PBNU. Melainkan, pada upaya memahami makna simbolik dari puisi seorang ulama. Bagaimana relasinya dengan tata kelola organisasi, dan apa implikasinya untuk masa depan NU sebagai kekuatan keagamaan sekaligus kebangsaan.
Ketika Puisi Jadi Senjata Kritik
Dalam khazanah Islam Nusantara, puisi punya peran yang unik. Ia sering jadi medium untuk menyampaikan nilai dan kritik sosial. Dari ulama klasik sampai pesantren masa kini, sastra religius dipakai untuk menitipkan pesan etis. Cara ini biasanya tak menimbulkan resistensi terbuka. Sejalan dengan prinsip al-adab fawqa al-‘ilm bahwa adab dan kebijaksanaan harus mendahului ekspresi pengetahuan.
Puisi yang disampaikan Abuya Muhtadi bin Dimyati pada Oktober 2025, misalnya. Ia bisa dibaca dalam kerangka itu. Bukan cuma teks estetis. Lebih dari itu, ia adalah simbol sosial-keagamaan yang mengandung kritik terhadap dinamika internal jam’iyyah. Istilah Baitul Wathwath yang dipakai dalam puisinya membuka ruang tafsir yang luas. Seolah menunjuk pada wilayah abu-abu dalam struktur kekuasaan organisasi.
Makna di Balik “Baitul Wathwath”
Dalam simbolisme Islam, kelelawar atau wathwath sering dimaknai sebagai makhluk liminal. Hidup di antara terang dan gelap. Ketika simbol ini dilekatkan pada konteks organisasi keagamaan, ia bisa jadi metafora yang tajam. Menggambarkan ruang kekuasaan yang kehilangan kejelasan orientasi etik. Tidak sepenuhnya gelap, tapi juga tidak benar-benar berpihak pada nilai-nilai dasar jam’iyyah.
Secara kelembagaan, kondisi seperti ini berbahaya. Pertama, batas antara khidmah dan kepentingan pragmatis jadi kabur. Kedua, kepatuhan terhadap AD/ART sebagai norma tertinggi organisasi bisa melemah. Dan ketiga, legitimasi moral NU di mata warga dan publik luas berpotensi tergerus.
Karena itulah, penegasan agar semua dinamika organisasi dikembalikan ke AD/ART NU punya makna yang dalam. Jauh lebih dalam dari sekadar urusan administratif. AD/ART itu kontrak etik dan hukum mīṯāq qānūnī wa akhlāqī yang menjamin keberlangsungan jam’iyyah.
Artikel Terkait
Mahasiswa Sulsel Babak Belur Diamankan Warga Usai Curi Motor di Pontianak
Fadli Zon Luncurkan Buku Sejarah Indonesia 10 Jilid, Ditulis 123 Sejarawan
Advokat Gugat Presiden dan Tiga Menteri, Desak Banjir Bandang Sumatera Ditetapkan sebagai Bencana Nasional
Dari Bayang Stadion Megah, Jagung Warga Rusun Mulai Berbuah